Cuanki, jajanan khas Bandung berbahan dasar ikan. Namun siapa sangka sebenarnya cuanki berasal dari adaptasi makanan Bakso Tionghoa berbahan daging babi.
Dilansir dari branda.co.id, Cuanki awalnya merupakan jenis bakso tahu kuah yang diproduksi oleh pabrik Choan Kie di Cimahi pada tahun 1960–1970an. Ini dikenal sebagai bakso tahu khas Tionghoa dan terbuat dari campuran daging babi dan tahu kukus.
Ketika pabrik tutup, beberapa orang etnis Sunda yang pernah bekerja di sana mengambil pengetahuan produksinya. Untuk memberi makan mayoritas orang Muslim di Jawa Barat, mereka kemudian mengganti daging babi dengan ikan tenggiri. saat ini, istilah “cuanki”, yang juga dikenal sebagai “Cari Uang Jalan Kaki”, mulai dan menyebar melalui para penjual keliling yang memikul dagangan sambil mengetuk kentongan.
Menurut data Sistem Informasi PKL (SiPKL) per Oktober 2024, tercatat 8.691 pedagang kaki lima (PKL) Kota Bandung yang terdaftar dari total 19.705 PKL pada 2022. Artinya, sektor kuliner mendominasi dengan 9.712 pedagang, termasuk penjual cuanki, batagor, dan siomay.
Baca juga: https://naramakna.id/bubur-akulturasi-warisan-asia-tenggara/
Cuanki sebagai Simbol Akulturasi dan Strategi Budaya
Makanan berfungsi sebagai simbol sosial dan budaya serta sebagai kebutuhan jasmani. Dalam konteks ini, cuanki mencerminkan proses resignifikasi. Pergeseran makna dari makanan etnik Tionghoa yang eksklusif menjadi komoditas kuliner yang inklusif dalam budaya Bandung. Dikutip dari branda.co.id, bahwa mengubah babi menjadi ikan merupakan strategi budaya yang mendukung kebiasaan halal masyarakat lokal dan bukan hanya pengganti uang.
Bentuk akulturasi yang halus terlihat pada cuanki yang terdiri dari tahu, siomay, pangsit, bakso ikan, dan kuah kaldu ringan dengan bumbu sederhana. Masyarakat Bandung tidak hanya menerima ide-ide dari luar, tetapi juga mengubahnya sesuai dengan nilai-nilai dan rasa lokal.
Bakso Kuah Tahu Kaki Lima ke Kafe Modern
Makanan ini awalnya dijual dengan berjalan kaki, menjadikan mobilitas sebagai strategi ekonomi informal. Tindakan ini menjual makanan sambil mempertahankan prinsip keterjangkauan, kebersahajaan, dan kedekatan sosial. Cuanki sekarang ada di semua tempat, bukan hanya di gang-gang sempit atau depan sekolah.
Cuanki juga ada di kafe modern dan restoran. Ini menunjukkan bagaimana budaya kuliner lokal, yang dulunya terkait dengan pedagang kaki lima, telah menjadi simbol identitas kota. Nilai kultural dari akumulasi cuanki adalah kreativitas sosial, adaptasi, dan keterbukaan, meskipun kemasan dapat berubah.
Cuanki bukan hanya makanan berkuah, ia adalah cerita tentang identitas, cara bertahan hidup, dan kerja sama antarbudaya.