Tradisi botram Sunda lebih dari sekadar makan bersama. Ia adalah cara untuk menafsirkan budaya yang memiliki banyak arti “Kebersamaan”. Botram berasal dari sejarah panjang interaksi sosial, kreativitas rakyat kecil, dan kolonialisme sebagai kebiasaan makan kolektif.
Tradisi ini memiliki akar sejarah kolonial, di mana istilah Belanda boterham yang berarti “roti lapis” bertransformasi menjadi botram, yang kini melambangkan makan kolektif dalam budaya lokal.
Representasi Kelas dan Perlawanan Halus
Menurut Umar Kayam dalam esainya “Makanan, Budaya, dan Simbol Sosial”, ia menekankan bahwa membaca budaya orang-orang kecil adalah cara yang penting untuk melakukan perlawanan yang halus namun bermakna. Ia menyebut budaya makan sebagai representasi kelas dan kekuasaan. Artinya, botram berfungsi sebagai ekspresi kolektif dan penegasan identitas kelas yang bersahaja namun bersatu. Ketika masyarakat kota makan di restoran yang memiliki sekat sosial, masyarakat pedesaan makan di atas daun pisang bersama.
Sebuah penelitian oleh Pradana (2024) menunjukkan bahwa botram dapat menjadi praktik tradisional dan kekuatan budaya wisata jika dikembangkan dengan hati-hati. Sementara Juhrodin (2022) melihat botram sebagai bagian dari ritual sosial pada acara penting seperti selamatan rumah baru, dengan makna simbolik untuk mempererat hubungan antarwarga.
Baca juga:https://naramakna.id/cuanki-jajanan-bandung-bakso-budaya/
Hibriditas Budaya dalam Kebersamaan Botram
Masyarakat Sunda, sebagai subjek dalam praktik botram, mempraktikkan kebersamaan melalui ritual makan di mana setiap individu membawa hidangan dan duduk bersama tanpa memandang status sosial. Transformasi ini menjadi bukti adanya hibriditas budaya dan unsur asing diadaptasi oleh masyarakat lokal secara kreatif. Di mana budaya adalah arena negosiasi makna, identitas berkembang melalui interaksi antara lokal dan global.
Budaya tidak kita pandang sebagai warisan yang sudah mati. Sebaliknya, ia kita lihat sebagai arena konflik makna di mana praktik sosial, identitas, dan kekuasaan terus diperdebatkan. Dalam hal ini, botram adalah hasil dari proses hibridisasi budaya di mana elemen asing “boterham” diubah menjadi ekspresi lokal. Ini bukan hanya perubahan bahasa tetapi juga pergeseran makna sosial, dari makanan individualis Barat ke praktik kolektif yang egaliter dan menyatukan di Timur.
Botram adalah gambaran sosial tentang bagaimana masyarakat Indonesia, khususnya Sunda, menggunakan kecerdasan budaya untuk mengatasi pengaruh luar. Ia subversif secara kultural, tetapi tidak dalam arti militan anti kolonial. Warisan kolonial diterima dengan baik oleh masyarakat Sunda sambil mempertahankan nilai-nilai budaya seperti solidaritas, gotong royong, dan egalitarianisme.
Botram menjadi pengingat di zaman yang semakin individualis bahwa identitas kita tidak hanya dibentuk oleh apa yang kita makan, tetapi juga dengan siapa kita duduk dan membaginya.