Cerita Rasa

Gorengan: Simbol Budaya dan Komunikasi Rakyat

Gorengan
Sumber Foto: Pinterest | Gorengan Bakwan atau Bala-Bala

Gorengan di Indonesia lebih dari sekadar simbol cemilan biasa. Ia adalah bahasa komunikasi sosial yang hidup di warung kopi, pos ronda, dan ruang tunggu kantor desa. Gorengan memiliki daya tarik yang memungkinkan banyak orang berinteraksi satu sama lain, seperti dengan teman, atau bahkan pembeli dan penjual. Gorengan seperti tahu isi, bakwan (bala-bala), dan tempe mendoan seringkali digunakan sebagai “ice breaker” dalam budaya lisan kita untuk membuka ruang diskusi.

Menurut data Riskesdas dari Kementerian Kesehatan RI (2023), 51,7% orang Indonesia memakan gorengan antara 1 sampai 6 kali perminggu, sementara 37,4% memakan gorengan setiap hari. Ini menunjukkan keterikatan gorengan dengan rasa dan nilai sosialnya dalam kehidupan sehari-hari cukup tinggi.

Sumber Foto: Pinterest | Gorengan Tahu Isi

Fungsi Komunikatif dan Risiko Kesehatan Gorengan

Jika ada gorengan saat obrolan santai, komunikasi menjadi lebih lancar. Dr. Arief Budiman, Dosen Komunikasi Universitas Indonesia, mengatakan dalam Jurnal Komunikasi Sosial UI (2022) bahwa makanan tradisional seperti gorengan dapat berfungsi sebagai alat penting untuk komunikasi sosial nonformal dalam masyarakat seperti Indonesia. Di sini, gorengan bukan hanya benda untuk dikonsumsi tetapi juga merepresentasikan keterlibatan sosial.

Dilansir dari medcom.id (2024), daerah seperti Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat adalah yang paling banyak mengkonsumsi gorengan. Namun, konsumsi rutin tersebut membawa risiko. Prof. Katrin Rosita (IPB) menyatakan bahwa mengkonsumsi gorengan lebih dari dua potong setiap hari meningkatkan risiko stroke dan penyakit jantung.

Baca juga: https://naramakna.id/nasi-kuning-itu-dulu-milik-ritual-sekarang-kaki-lima/

Peran Pedagang Gorengan dan Simbol Budaya

Namun, manfaat komunikatif gorengan tidak dapat tergantikan. Gorengan bermanfaat di lingkungan informal karena ia membantu menciptakan keterbukaan dan keakraban serta membangun jejaring sosial. Pedagang gorengan pun memainkan peran sebagai komunikator yang bukan hanya menjual gorengan, tapi juga bisa berbagi informasi lokal, kabar tetangga, hingga opini politik ringan.

Gorengan menjadi simbol budaya dan akar komunikasi. Ia menunjukkan bahwa makanan dapat berfungsi sebagai alat untuk perundingan sosial, teman diskusi, dan pengikat solidaritas. Mengendalikan konsumsi gorengan secara bijak berarti menempatkannya dalam batas budaya dan kesehatan yang seimbang daripada menghapusnya. Gorengan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita.

Exit mobile version