Angka 13 seringkali dianggap membawa kesialan. Gedung-gedung bahkan menghilangkan lantai 13, lalu orang menghindari nomor rumah 13. Di dunia sepak bola, mitos serupa juga beredar: nomor punggung 13 disebut menghambat performa pemain. Bahkan, pesepak bola konon menjauhi nomor punggung yang jika dijumlahkan hasilnya 13, seperti 49, 58, 67, 76, 85, atau 94.
Mitos Angka 13: Ciri Pseudo-Sains di Sepak Bola
Pendukung klaim ini sering memakai logika pseudo-sains. Mereka hanya mengambil data atau fakta yang mendukung “hipotesis” mereka dan mengabaikan bukti sebaliknya. Kesimpulan justru ditarik lebih dulu sebelum pengumpulan atau analisis data selesai. Fenomena ini, yang disebut connecting the dots—even if those dots weren’t mean it, menjaga mitos tetap hidup di dunia sepak bola. Mitos-mitos ini juga menjadi bumbu menarik dalam diskusi dan daya pikat sepak bola itu sendiri.
Baca juga: https://naramakna.id/mimpi-timnas-indonesia-ke-piala-dunia-2026/
Pemain Hebat Patahkan Mitos
Namun, faktanya membuktikan sebaliknya. Banyak pemain hebat justru mengenakan nomor 13 dan tetap bersinar terang. Budi Sudarsono, legenda sepak bola Indonesia, sukses memakai nomor 13. Febri Haryadi dari Persib juga mengenakan nomor tersebut.
Di kancah internasional, Eusébio, legenda Portugal dan top skor Piala Dunia 1966, tampil cemerlang dengan nomor 13. Thomas Müller dari Jerman, top skor di dua Piala Dunia (2010 dan 2014), juga setia pada nomor 13.
Tak ketinggalan, Park Ji-Sung, pemain legendaris Korea Selatan di Manchester United era Sir Alex Ferguson, memakai nomor punggung 13. Rekrutan anyar MU dari Lecce, Patrick Dorgu, juga memilih nomor 13.
Fakta-fakta ini seringkali sengaja diabaikan demi melanggengkan mitos angka 13 yang sial. Pengabaian ini memang diperlukan untuk mempertahankan daya tarik dan misteri yang menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi sepak bola. Ironisnya, sesuatu yang “terlihat benar” seringkali lebih mudah dipercaya daripada kebenaran itu sendiri.