Fenomena makanan viral tak lagi sekadar persoalan rasa. Ini telah menjadi simbol budaya baru yang terbentuk oleh kecepatan arus media sosial dan kebutuhan masyarakat akan eksistensi. Di Indonesia, makanan yang mendadak viral seperti dalgona coffee, Korean garlic cheese bun, atau es krim geprek membuktikan bahwa tren kuliner kini bergerak lebih cepat dari siklus produksi dan konsumsi itu sendiri.
Laporan dari platform analitik Tastewise menyebut bahwa perilaku konsumen makanan kini dipengaruhi oleh interaksi di media sosial, bukan lagi sekadar iklan tradisional atau rekomendasi keluarga. Data INSG Indonesia menunjukkan bahwa 76% pengguna media sosial di Indonesia mengikuti setidaknya satu food influencer, dan 68% di antaranya pernah membeli makanan yang mereka sarankan. Dikutip dari INSG.co (2025), lebih dari 4 juta unggahan terkait #TikTokFood dan #FoodTok menunjukkan betapa masifnya pengaruh media sosial dalam membentuk tren konsumsi.
Baca juga: https://naramakna.id/gorengan-simbol-budaya-dan-komunikasi-rakyat/
Makanan Viral: Alat Komunikasi Sosial dan Interaksi
Makanan viral, bagaimanapun, berfungsi sebagai alat komunikasi sosial selain hanya menjadi tren. Dalam video di mana seseorang mencoba minuman indomie donat atau es kopi susu boba lava, mereka sebenarnya menyampaikan pesan tentang siapa diri mereka, di mana mereka berada secara sosial, dan prinsip-prinsip yang mereka anggap relevan. Dalam situasi ini, makanan berfungsi sebagai semacam “bahasa” untuk membangun hubungan dan eksistensi di dunia digital.
Makanan viral juga memungkinkan diskusi dan interaksi di dunia maya dan nyata. Video makanan yang viral biasanya menjadi topik percakapan di warung kopi, grup WhatsApp, atau tongkrongan remaja. Makanan bahkan dapat berfungsi sebagai pemecah kebekuan dalam hubungan sosial baru.
Risiko Kesehatan dan Peluang UMKM Kuliner
Meskipun demikian, makanan viral tidak selalu memiliki efek positif. Menurut penelitian Global Health Management Journal (2024), paparan yang berlebihan pada konten makanan di media sosial berkorelasi dengan asupan gizi yang lebih rendah, terutama pada remaja, yang rentan terhadap konsumsi makanan yang tinggi gula dan lemak hanya karena viral, karena sebagian makanan yang viral biasanya lebih cenderung manis.
Namun, makanan viral tetap menjadi peluang besar bagi UMKM kuliner untuk naik kelas. Tren ini mendorong pengusaha lokal untuk menjadi lebih inovatif, kreatif, dan komunikatif. Mereka yang mampu memanfaatkan media sosial dengan baik memiliki peluang lebih besar untuk membangun loyalitas pelanggan dan loyalitas terhadap merek mereka. Oleh karena itu, makanan viral kita konsumsi bukan hanya melalui mulut tetapi juga melalui makna. Ia menggambarkan semangat era ini, di mana gaya, teknologi, dan identitas tergabung dalam makanan.