Di era digital yang hiperaktif, konsep self-care mengalami pergeseran signifikan. Dari sekadar rutinitas atau journaling malam hari, kini perawatan diri memasuki babak baru yaitu self-care 2.0. Perpaduan antara kesehatan holistik dan teknologi pintar.
Tren ini mencerminkan perubahan cara pandang masyarakat terhadap kesehatan fisik. dilansir dari Euromonitor (2025) bahwa 52% konsumen global percaya bahwa mereka akan lebih sehat di masa depan berkat teknologi. Menurut Vogue Business (2025), kita dapat melihat ini dari lonjakan penggunaan wearable device, seperti smartwatch dan pelacak tidur, yang mengalami perubahan dua digit antara 2024 hingga 2026.
Pemantauan Berlebihan dan Dampak Psikologis
Meskipun demikian, kemajuan ini tidak lepas dari aspek negatifnya. Menurut data The Guardian (2025), ada peningkatan kecemasan yang disebabkan pemantauan data kesehatan secara berlebihan. Dalam satu kasus, orang yang menggunakan aplikasi pemantau suasana hati harus menjawab pertanyaan tentang emosi mereka hingga empat kali sehari, yang menyebabkan mereka mengalami stres. Dalam hal ini, teknologi dapat menimbulkan tekanan baru, hidup harus terus terukur, alih-alih tenang.
Sebagai generasi digital asli, Generasi Z paling terpengaruh. dikutip dari data Cybersmile Foundation dalam Digital Wellbeing (2025), bahwa aplikasi kesehatan dan media sosial berdampak negatif pada citra tubuh dan harga diri remaja. Akibat ekspektasi daring, 68% responden usia 16–24 tahun mengalami gangguan tidur dan perasaan cemas yang lebih besar. Artinya, aplikasi dan media sosial memiliki sisi negatif untuk tubuh jika digunakan secara berlebihan.
Baca juga: https://naramakna.id/starter-pack-healing-tren-baru-di-weekend/
Menuju Keseimbangan Self-Care dan Kebijaksanaan Digital
Zac Turner, pakar kesehatan dalam news.com.au (2025), mengusulkan metode baru yang disebut “2 out of 3 rule”. Artinya, kita hanya perlu melakukan dua dari tiga aktivitas sehat setiap hari, seperti berolahraga, memakan makanan yang sehat, atau tidur cukup, untuk menjaga keseimbangan dan tidak merasa bersalah jika tidak sempurna.
Self-Care 2.0 adalah tentang keseimbangan, bukan kesempurnaan. Digital wellness bisa menjadi sekutu, tetapi hanya jika kita tetap menjadi pengendali, bukan yang dikendalikan. Kita perlu mengembalikan makna dasar dari merawat diri, yakni mengenali batas, mendengarkan tubuh, dan merangkul ketidaksempurnaan sebagai bagian dari kehidupan.
Teknologi hanyalah alat bantu, kebijaksanaan dalam menggunakannya adalah kunci utama agar self-care benar-benar menjadi praktik penyembuhan, bukan sekadar tren. Dalam dunia yang terus mendikte bagaimana kita harus hidup, mungkin langkah paling radikal adalah berani memilih versi kesehatan yang sesuai dengan diri sendiri.