Horison

Selingkuh & Poligami: Standar Moral Ganda?

Pasangan
Sumber: Paxels.com

Kasus perselingkuhan CEO Astronomer App yang terungkap saat konser Coldplay menunjukkan lebih dari sekadar skandal personal. Ini mencerminkan bagaimana masyarakat kita menilai moralitas berdasarkan siapa pelakunya dan dalam bingkai apa ia bertindak. Netizen bereaksi keras, menghujat, menyerukan boikot, hingga reputasi personal sang CEO yang runtuh.

Ironisnya, praktik poligami yang juga melibatkan hubungan dengan lebih dari satu pasangan, seringkali dipandang masyarakat sebagai hal yang wajar, asalkan dilakukan secara terbuka dan resmi.

Ini menimbulkan pertanyaan fundamental: mengapa selingkuh begitu dikecam sementara poligami cenderung dimaklumi?

Luka di Balik Relasi Ganda

Seringkali kita mengira perselingkuhan terjadi karena hubungan yang sudah retak. Namun, studi terbaru dari Deviant Behavior Journal (2024) menunjukkan hal sebaliknya: rendahnya komitmen personal menjadi pemicu utama. Ironisnya, perselingkuhan bisa saja terjadi bahkan saat pasangan masih memiliki kedekatan emosional. Ini mengindikasikan bahwa masalahnya mungkin lebih dalam dari sekadar ketidakcocokan, melainkan berkaitan dengan integritas individu.

Bagi korban perselingkuhan, dampaknya sungguh merusak. Penelitian dari IPB University (2024) terhadap perempuan korban perselingkuhan mengungkap efek psikologis yang serius: mereka kerap mengalami trauma, rasa tidak berharga, dan bahkan kehilangan orientasi hidup. Dalam kondisi serapuh itu, dukungan sosial menjadi penyangga utama yang sangat krusial untuk proses pemulihan. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran lingkungan sekitar dalam membantu korban bangkit kembali.

Baca juga: https://naramakna.id/transformasi-peran-perempuan-di-ranah-budaya/

Risiko Kesehatan Mental Poligami dan Kritik Sosial

Berbeda dengan perselingkuhan yang umumnya dikecam, poligami di beberapa budaya dan agama masih dilegitimasi. Namun, ini bukan berarti tanpa masalah. Sebuah meta-analisis oleh BMC Women’s Health (2021) menemukan bahwa perempuan dalam pernikahan poligami memiliki risiko depresi 2,25 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang berada dalam pernikahan monogami. Dampak negatifnya juga meluas hingga ke anak-anak; mereka menunjukkan tingkat kecemasan dan stres yang lebih tinggi.

Di ranah sosial, meskipun poligami masih banyak masyarakat legimitasi atas nama agama, kritik dan resistensi terhadap tokoh publik yang berpoligami semakin meningkat, sebagaimana dicatat oleh Universitas Sebelas Maret (2024). Hal ini menyoroti adanya pergeseran pandangan masyarakat yang mulai mempertanyakan praktik tersebut, terutama ketika poligami kerap dilindungi oleh sistem hukum yang bias gender, seperti dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 di Indonesia.

Ilustrasi AI

Selingkuh: Kuasa dalam Definisi Moral

Nilai moral dalam masyarakat tidak selalu berdiri di atas prinsip universal, melainkan dibentuk oleh struktur sosial dan siapa yang punya kuasa untuk menetapkannya. Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, relasi dengan lebih dari satu pasangan masyarakat anggap wajar selama laki-laki yang memiliki posisi atau simbol kekuasaan melakukannnya, baik itu jabatan, harta, maupun dalih agama.

Perselingkuhan masyarakat kecam karena dilakukan diam-diam dan penuh kebohongan, sedangkan poligami lebih sering dimaklumi karena dilakukan secara terbuka dan dilabeli sah. Perbedaan penerimaan ini bukan soal benar atau salah, tetapi siapa yang berhak menentukan aturan mainnya.

Bukan Jumlah Pasangan, Tapi Ketimpangannya

Baik selingkuh maupun poligami bisa meninggalkan luka yang sama dalam sebuah relasi. Yang membedakannya hanyalah cara hubungan itu dibingkai: apakah dilakukan secara diam-diam atau terang-terangan, dan apakah pelakunya memiliki kuasa sosial untuk melanggengkan praktik tersebut.

Jika ingin menciptakan hubungan yang adil, fokusnya bukan pada status legal atau sosial, melainkan pada transparansi, persetujuan, dan kesetaraan semua pihak yang terlibat.

Exit mobile version