Setiap 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Namun, sedikit yang mengetahui bahwa tanggal ini bukan sekadar seremonial. Tanggal tersebut mewakili sejarah panjang perjuangan hak anak serta dinamika sosial-politik selama lebih dari tujuh dekade.
Data historis dan hukum menunjukkan HAN merefleksikan serius upaya negara membangun generasi masa depan yang terlindungi dan sejahtera.
Sejarah HAN dimulai tahun 1952, ketika Kongres Wanita Indonesia (Kowani mengadakan Pekan Kanak-Kanak Nasional pertama di Istana Merdeka. Kala itu, peringatan masih fleksibel, kadang pada Mei, kadang Juli.
Bahkan pada 1959, perayaan dialihkan ke awal Juni agar bersinggungan dengan Hari Anak Internasional dan ulang tahun Presiden Soekarno yang Katadata lansir.
Namun, sejak 1984, Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1984 menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional, bertepatan dengan disahkannya UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Tantangan Nyata Dalam Hak Perlindungan Anak
Inilah momen krusial yang mengaitkan HAN dengan dasar hukum negara. Dalam undang-undang tersebut, negara menjamin hak anak atas kesejahteraan, kasih sayang, dan perlindungan nilai yang kini terintegrasi ke dalam pasal-pasal konstitusi.
Meskipun negara mengafirmasi hak anak melalui regulasi dan peringatan HAN, data menunjukkan tantangan besar masih ada. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 2.355 kasus pelanggaran terhadap anak sepanjang 2023, terbanyak berasal dari ranah pendidikan (29%) dan keluarga (25%) (KPAI, Laporan Tahunan 2023).
Fakta tersebut menunjukkan perlindungan anak di Indonesia belum berakar kuat dalam budaya dan sistem sosial, meski regulasi formal telah mendukungnya.
Baca Juga: https://naramakna.id/perbedaan-pendidikan-alam-dan-konvensional/
Pentingnya Nyata dan Partisipasi Anak
Meski Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada 1990 yang menempatkan partisipasi sebagai salah satu pilar utama, realitas menunjukkan partisipasi anak masih jauh dari ideal.
Survei nasional Save the Children (2021) mengungkap bahwa hanya 37% anak Indonesia merasa suara mereka didengar dalam pengambilan keputusan, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga.
Angka tersebut menunjukkan bahwa suara anak Indonesia masih kerap terpinggirkan, bahkan dalam lingkup paling dekat seperti rumah dan sekolah. Padahal, partisipasi aktif anak dalam proses pengambilan keputusan penting untuk membentuk kepercayaan diri, tanggung jawab, dan kepemimpinan sejak dini.
Dengan mengangkat tema Anak Hebat, Indonesia Kuat menuju Indonesia Emas 2045 pada HAN 2025, pemerintah menekankan pentingnya pengembangan anak sebagai aset strategis.
Namun, tanpa intervensi serius terhadap kekerasan, ketimpangan akses, dan keterlibatan anak dalam kebijakan, HAN berisiko menjadi simbol tanpa perubahan nyata.
Oleh karena itu, HAN harus menjadi pengingat tahunan negara tidak hanya perlu merayakan anak, tetapi juga perlu melibatkan, melindungi, dan mendengarkan mereka. Slogan tidak membentuk generasi emas 2045, melainkan kebijakan yang berpihak pada data dan realitas anak Indonesia membentuknya.