Di tengah hiruk pikuk landasan pacu dan gemuruh mesin jet, sebuah revolusi senyap telah lama berlangsung di balik kemudi pesawat modern. Bukan lagi tentang kabel-kabel mekanis yang membentang dari kokpit ke sayap, melainkan tentang sinyal-sinyal elektronik yang mengalir lancar, membentuk sebuah sistem yang dikenal sebagai fly-by-wire. Teknologi ini, yang kini menjadi standar di hampir setiap pesawat komersial, tak hanya mengubah cara pesawat diterbangkan, tetapi juga secara subtil membentuk ulang budaya dan persepsi di dalam kokpit.
Revolusi Digital dalam Kokpit Pesawat
Fly-by-wire bukan sekadar inovasi teknis. Ia adalah artefak budaya yang merefleksikan pergeseran paradigma dalam hubungan manusia dengan mesin. Dahulu, pilot merasakan setiap hembusan angin, setiap getaran sayap, secara langsung melalui kontrol mekanis. Ada semacam koneksi primal, sebuah dialog tak terucap antara manusia dan besi.
Namun, fly-by-wire menyisipkan mediator digital. Sinyal dari joystick atau kemudi pilot kini diterjemahkan oleh komputer, dioptimalkan, dan baru kemudian dikirimkan ke aktuator di permukaan kontrol pesawat.
Pergeseran ini memunculkan pertanyaan menarik: Apakah pilot kehilangan rasa terbang?
Sebagian mungkin berpendapat demikian, meratapi hilangnya interaksi fisik yang intim. Namun, para pendukung fly-by-wire menyoroti peningkatan presisi, efisiensi, dan yang terpenting, keselamatan. Komputer dapat melakukan kalkulasi ribuan kali lebih cepat daripada otak manusia, mengoreksi kesalahan kecil bahkan sebelum pilot menyadarinya. Ini mengurangi beban kerja kognitif pilot, memungkinkan mereka fokus pada pengambilan keputusan strategis daripada mengatasi dinamika aerodinamis yang kompleks.
Budaya Kokpit yang Berevolusi
Adopsi fly-by-wire mencerminkan kepercayaan yang semakin besar terhadap kecerdasan buatan dan otomatisasi. Kokpit modern kini lebih menyerupai ruang kendali berteknologi tinggi daripada sarang mekanis. Interaksi pilot menjadi lebih digital, lebih visual, dengan layar-layar multifungsi menggantikan indikator analog. Ini bukan berarti menghilangkan peran pilot, melainkan mentransformasi peran tersebut dari operator manual menjadi supervisor sistem yang canggih.
Meskipun konsep fly-by-wire memiliki sejarah panjang dalam pengembangan militer, kontribusi signifikan dalam pengembangannya untuk pesawat sipil dan komersial tak lepas dari peran seorang insinyur jenius asal Indonesia, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie.
Sebagai mantan Presiden Republik Indonesia, Habibie dikenal luas atas dedikasinya dalam dunia dirgantara dan perannya dalam pengembangan industri pesawat terbang di Indonesia, khususnya melalui IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia). Ia adalah salah satu tokoh kunci yang turut mempopulerkan dan mengaplikasikan sistem fly-by-wire pada pesawat sipil, salah satunya melalui pengembangan pesawat N250 Gatotkaca yang menjadi kebanggaan nasional.
Baca juga: https://naramakna.id/dilan-motor-kustom-bandung-fenomena-budaya/
Tantangan dan Masa Depan Penerbangan
Meski demikian, transformasi ini juga membawa tantangan. Isu tentang ketergantungan berlebihan terhadap otomatisasi, potensi skill decay (penurunan keterampilan manual), dan pentingnya menjaga kesadaran situasional tetap menjadi perdebatan hangat di kalangan penerbang dan praktisi keselamatan.
Pada akhirnya, fly-by-wire adalah manifestasi dari evolusi teknologi yang tak terhindarkan. Ia mencerminkan keinginan manusia untuk mencapai presisi, keamanan, dan efisiensi yang lebih tinggi. Namun, di balik kecanggihannya, ia juga membuka jendela ke dalam lanskap budaya di mana hubungan manusia dengan teknologi terus berevolusi, di mana rasa terbang kini didefinisikan ulang melalui antarmuka digital, dan di mana pilot modern menjadi konduktor orkestra elektronik yang kompleks, menerbangkan mimpi-mimpi jutaan orang dengan sentuhan ujung jari.