Konten-konten anomali berbasis kecerdasan buatan (AI) seperti Trala Lelo, Zini Banini, dan Tung Tung Tung Sahur membanjiri berbagai platform media sosial. Karakter dengan ekspresi tak lazim, suara repetitif yang ganjil, serta gerakan visual yang tidak wajar menarik anak-anak. Namun, dibalik keunikan tersebut, para ahli memperingatkan dampak serius terhadap perkembangan psikologis anak di bawah usia 12 tahun.
American Academy of Pediatrics (AAP) menunjukkan melalui datanya bahwa anak usia dini yang terlalu sering terpapar konten digital berisiko mengalami gangguan tidur (27%), kesulitan fokus (31%), hingga peningkatan kecemasan sosial (23%). Angka-angka tersebut mencerminkan bahwa otak anak yang masih berkembang sangat rentan terhadap stimulus berlebihan, khususnya dari konten visual dan audio yang tidak realistis serta berulang. Ini bukan hanya soal durasi layar, tetapi juga kualitas isi yang mereka konsumsi.
Tanpa penanganan dini dan kontrol media yang ketat, anak-anak berisiko tumbuh dalam lingkungan virtual yang mempengaruhi persepsi mereka terhadap dunia nyata, serta melemahkan fungsi kognitif dan sosial yang penting dalam fase tumbuh kembang. Oleh karena itu, AAP juga menyoroti pentingnya pengawasan media digital oleh orang tua, terutama pada konten yang mengandung unsur non-realistis yang berulang.
Peran Keluarga dan Regulasi dalam mengatasi paparan Konten AI
Di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa 65,4% anak usia 7–12 tahun telah mengakses media sosial secara rutin tanpa pengawasan orang tua. Artinya, fenomena ini meningkat seiring dengan meluaspenggunaan smartphone dan algoritma yang merekomendasikan konten viral berbasis AI tanpa mempertimbangkan usia pengguna.
Baca juga: https://naramakna.id/fenomena-absurd-ai-di-tiktok-mengapa-terjadi/
Psikolog anak dari Universitas Indonesia, Dr. Fenny Riza, menyatakan bahwa anak-anak cenderung meniru perilaku dan suara dari konten yang mereka tonton tanpa memahami maknanya. Konten AI yang absurd bisa membentuk pola pikir dan persepsi yang tidak sesuai realitas. Dalam jangka panjang ini bisa berdampak pada kemampuan sosial dan komunikasi anak, dilansir dari Kompas.com.
Kekosongan regulasi dan kurangnya literasi digital pada keluarga menjadi dua faktor utama yang memungkinkan anak-anak terekspos secara bebas terhadap konten anomali AI. Tanpa pencegah yang tepat, tren ini berpotensi membentuk generasi yang pasif, mudah teralihkan, dan mengalami keterlambatan dalam pengembangan fungsi eksekutif otak.
Dalam situasi ini, kita membutuhkan pengawasan aktif, edukasi literasi digital, dan strategi penanggulangan yang terukur. Tanpa langkah nyata, anak-anak akan terus terpapar dunia maya yang tak ramah bagi pertumbuhan mental dan emosional mereka.