Laga & Gaya

Tradisi Sekolah Baru Membebani Keluarga

×

Tradisi Sekolah Baru Membebani Keluarga

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Saat kalender pendidikan memasuki babak baru di pertengahan tahun, tahun ajaran baru seharusnya menjadi momentum positif bagi peserta didik untuk kembali belajar. Namun, dibalik semangat itu sebuah fenomena tahunan terus membebani jutaan keluarga di Indonesia tradisi membeli barang-barang sekolah baru mulai dari seragam, sepatu, hingga alat tulis. Meskipun peraturan pendidikan tidak secara eksplisit mengaturnya, kebiasaan ini hidup kuat dalam norma sosial masyarakat.

Data dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 2022 mencatat bahwa 68% orang tua merasa terdorong untuk membeli perlengkapan baru bagi anak-anak mereka menjelang masuk sekolah. Tekanan ini tidak berasal dari kewajiban sekolah, melainkan dari tekanan sosial dan rasa takut anak-anak mereka akan merasa berbeda dari teman-temannya.

Fenomena ini berdampak nyata pada pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pendidikan meningkat hingga 15,6% pada periode Mei–Juli. Angka ini melonjak terutama pada kelompok ekonomi menengah ke bawah, yang bahkan mengalokasikan hingga 40% dari pendapatan bulanan mereka hanya untuk kebutuhan tahun ajaran baru.

 

Sekolah SMA Ajaran Baru
Ilustrasi AI

Baca Juga: https://naramakna.id/tren-fashion-pencintraan-digital/

Tradisi Semua Harus Baru dan Solusi Alternatif

Data tersebut mencerminkan ketimpangan antara realitas ekonomi dan ekspektasi sosial. Tradisi semua harus baru menjadi beban tahunan yang justru memperparah kerentanan finansial keluarga berpenghasilan rendah. Ini bukan hanya persoalan uang, tetapi juga mencerminkan minimnya edukasi publik dan kebijakan sosial yang mendukung pola konsumsi pendidikan berkelanjutan.

Fenomena ini terjadi secara nasional di seluruh Indonesia, baik di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Namun, di Yogyakarta, solusi mulai muncul dari komunitas. Beberapa komunitas orang tua bersama sekolah menggagas gerakan tukar perlengkapan sekolah school supply swap agar barang-barang layak pakai bisa digunakan kembali oleh siswa lain. Langkah ini menjadi contoh konkret bagaimana solidaritas sosial dapat menjadi penyeimbang atas tekanan konsumsi tahunan yang tidak sehat.

Oleh karena itu pendidikan bukan hanya soal materi pelajaran, tetapi juga soal bagaimana sistem sosial dan ekonomi mendukung atau malah membebani anak-anak dan keluarganya. Ketika tekanan sosial mendorong konsumsi yang tidak selalu perlu, keluarga berpenghasilan rendah menjadi korban paling terdampak. Dalam konteks ini, solusi alternatif seperti gerakan tukar perlengkapan sekolah patut kita perluas dan fasilitasi sebagai langkah konkret membangun budaya pendidikan yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.