Di era serba visual dan digital, tekanan untuk terlihat menarik tidak lagi iklan atau televisi datang. Kini tekanan itu setiap hari langsung dari layar ponsel dari unggahan teman, influencer, hingga selebritas internet menghadirkan.
Fenomena ini merupakan sebuah budaya sosial yang individu untuk terus merias identitas dan citra diri agar tampak sesuai dengan ekspektasi sosial dan tren visual mendorong.
Transformasi Standar Kecantikan
Dibandingkan masa lalu standar kecantikan telah drastis berubah, dahulu banyak perempuan Indonesia tanpa riasan berlebihan memukau terlihat wajah natural cukup mencerminkan keindahan dan kepercayaan diri dianggap.
Namun sekarang kita nyaris selalu kecantikan dengan tampilan mengaitkan jadi wajah harus glowing, kulit harus cerah, alis harus terbentuk, dan penampilan harus instagramable. Kecantikan alami kerap kurang maksimal di anggap jika tidak melalui proses kosmetika sosial baik faktual maupun simbolik.
Baca Juga: https://naramakna.id/perempuan-mandiri-bingung-diberi-pilihan/
Dampak Tekanan Media Sosial Media
Berdasarkan survei Komnas HAM dan INFID (2022), 67% anak muda Indonesia mengaku mereka merasa tertekan untuk selalu tampil sukses dan menarik di media sosial. Mereka merasa harus kehidupan ideal, bahagia, produktif, dan estetik menampilkan meski kenyataannya tidak selalu demikian.
Tekanan ini memicu kondisi yang dikenal sebagai kecemasan performatif ketika seseorang merasa terus diawasi dan dinilai berdasarkan penampilannya.
Menurut riset Universitas Indonesia dalam artikel Penggunaan Media Sosial dan Perubahan Perilaku Sosial Remaja, 75% remaja lebih konten visual mempercayai dibandingkan interaksi langsung yang menunjukkan bahwa kesan luar kini lebih mereka utamakan ketimbang kepribadian atau substansi.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa mayoritas remaja Indonesia dalam tekanan budaya visual hidup, di mana penampilan dan pencitraan lebih mereka utamakan daripada keaslian diri.
Selain itu media sosial tidak hanya menjadi ruang berbagi mencerminkan, tetapi juga panggung penilaian sosial yang dapat kecemasan performatif memicu, menggeser nilai dari menjadi diri sendiri ke terlihat ideal di mata orang lain.
Maka dari itu, sesungguhnya bukan terletak pada siapa yang paling menarik di mata publik melainkan pada siapa yang paling jujur terhadap dirinya sendiri.
Dalam dunia yang terus mendorong untuk tampil sempurna, terkadang memerlukan jeda untuk merefleksi bahwa yang kita tampilkan cerminan keaslian diri atau hanya dari apa yang dunia ingin lihat.