Horison

Sungai Citarum Dulu Jantung, Kini Beracun

×

Sungai Citarum Dulu Jantung, Kini Beracun

Sebarkan artikel ini
Sungai Citarum
Sumber: Jernih.co & Istimewa

Sungai Citarum, dahulu cikal bakal peradaban Kerajaan Tarumanegara dan urat nadi kehidupan di Jawa Barat, kini menjadi simbol dari perjuangan lingkungan yang kompleks. Perjalanannya dari sungai yang vital hingga salah satu yang terkotor di dunia merefleksikan interaksi rumit antara pembangunan manusia dan dampak ekologis.

Sejarah dan Perkembangan Sungai Citarum: Dari Kuno ke Modern

Sejarah Citarum sangat panjang, berawal dari abad ke-4 Masehi dengan berdirinya Kerajaan Tarumanegara di tepiannya, yang kaya akan pohon tarum penghasil pewarna nila. Sungai sepanjang 297 kilometer ini telah lama menjadi penopang utama bagi masyarakat sekitar, menyediakan air bersih, irigasi untuk pertanian, kebutuhan industri, serta sumber daya perikanan tradisional.

Pentingnya sungai ini semakin ditekankan dengan pembangunan Bendungan Jatiluhur pada tahun 1957, reservoir serbaguna pertama di Indonesia yang menghasilkan listrik, mengairi sawah, dan menyediakan air baku. Proyek-proyek bendungan lain seperti Saguling (1985) dan Cirata (1988) semakin mengukuhkan peran Citarum dalam infrastruktur air dan energi Jawa Barat.

Namun, di balik kemajuan ini, ada sisi gelap yang muncul. Dalam dua dekade terakhir, Citarum menghadapi tekanan lingkungan masif akibat industrialisasi dan pertanian intensif. Khususnya industri tekstil di Jawa Barat, banyak yang membuang limbah cair langsung ke sungai tanpa pengolahan memadai.

Baca juga: https://naramakna.id/metodologi-reptrak-bangun-reputasi-unggul/

Data terbaru menunjukkan bahwa jumlah industri di Majalaya, yang sebelumnya dikenal sebagai Kota Dolar, meningkat menjadi sekitar 366 pada tahun 2020. Secara lebih luas di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, perkiraan tahun 2022 menunjukkan ada sekitar 2.700 pabrik, namun hanya sekitar 20% di antaranya yang memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) berfungsi dengan baik. Program Citarum Harum sendiri hingga November 2023 telah menangani limbah dari 1.482 pabrik, menegaskan skala masalah industri ini.

Peta Das Citarum
Sumber: Hasil Pengolahan SK.304/MENLHK/PDASHL/ DAS.0/7/2018 tentang Peta Daerah Aliran Sungai

Dampak Pencemaran Sungai Citarum : Krisis Ekologis dan Kultural

Pencemaran Citarum bukan hanya masalah lingkungan, melainkan juga kehancuran kultural dan sosial. Sungai yang sebelumnya menjadi sumber kehidupan telah berubah menjadi tangki septik raksasa akibat limbah rumah tangga, limbah pabrik, sedimentasi, dan erosi. Menurut Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, Prima Mayaningtias, sebagian besar sampah berasal dari limbah domestik. Data KLHK 2018 mencatat timbunan sampah di DAS Citarum mencapai sekitar 500 ribu ton per tahun.

Dampak serius terlihat pada kesehatan masyarakat, dengan keluhan seperti ruam kulit dan masalah pencernaan. Meskipun berbahaya, banyak warga terpaksa tetap menggunakan air Citarum karena minimnya pilihan.

Upaya Revitalisasi dan Kerangka Regulasi

Menanggapi krisis ini, pemerintah dan lembaga internasional telah berupaya keras. Sejak 2007, Asian Development Bank (ADB) mengucurkan pinjaman USD 500 juta untuk implementasi “Integrated Water Resources Management” (IWRM) atau ICWRMIP, sebuah model untuk membersihkan dan memulihkan DAS. Namun, IWRM dikritik karena kurangnya pertimbangan realitas lokal dan partisipasi pemangku kepentingan.

Berbagai program seperti Citarum Bergetar (2001) dan Citarum Bestari (2016) diluncurkan, namun masalah Citarum terus memburuk. Puncaknya adalah program “Citarum Harum” pada tahun 2018, yang mengusung kerja sama terpadu antara berbagai aktor yaitu, pemerintah, akademisi, swasta, masyarakat, dan TNI. Program ini telah membawa perubahan signifikan melalui implementasi 12 program di 8 Kelompok Kerja dengan 23 sektor di seluruh DAS Citarum.

Secara regulasi, Undang-Undang No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah mengatur prosedur pengelolaan sampah. Namun, tantangan utama tetap pada penegakan hukum yang lemah, kurangnya koordinasi, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Laporan terbaru hingga akhir 2024 dan awal 2025 masih mengindikasikan adanya kasus pencemaran dari industri, seperti denda yang dijatuhkan kepada perusahaan karena pelanggaran pengelolaan limbah, dan masalah pencemaran dari pabrik tekstil yang dilaporkan masih berlangsung di beberapa area DAS Citarum.

Pendidikan berkelanjutan dan pendekatan kolaboratif seperti model Quintuple Helix dianggap vital untuk keberlanjutan Citarum. Sungai ini bukan sekadar aliran air, melainkan cerminan tantangan global dalam menjaga keseimbangan pembangunan, lingkungan, dan memulihkan ikatan kultural yang terkoyak.