Perkembangan streetwear di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya terus meningkat. Tren ini lebih dari sekadar mencerminkan fesyen di Indonesia, namun lebih itu sebagai bentuk identitas.
Ningrum et al. (2014) mencatat bahwa gaya hidup dan pola konsumsi kalangan muda kelas menengah di Jabodetabek terdorong oleh nilai simbolik dan tekanan sosial, bukan hanya nilai guna. Mereka tertarik pada produk bermerek atau impor sebagai penanda status, namun juga fleksibel mengadopsi produk lokal jika memenuhi kualitas dan citra yang diharapkan.
Kolaborasi dan Identitas Budaya
Kehadiran streetwear di Indonesia memiliki wajah lokal. Dilansir dari kompasiana.com, komunitas seperti Hypevibe Jakarta dan merek lokal seperti Erigo, Thanksinsomnia, Screamous, dan Monstore berhasil menggabungkan estetika global dengan semangat identitas lokal. Kombinasi grafis, kolaborasi dengan seniman lokal, dan motif tradisional menunjukkan upaya pembentukan identitas yang bermakna dalam masyarakat urban.
Identitas bukanlah sesuatu yang instan, melainkan terbentuk melalui representasi dan negosiasi simbolik. Dalam hal ini, streetwear menjadi arena perjuangan simbolik tempat kelas menengah baru membangun kembali citra diri mereka sebagai prosumer (produsen sekaligus konsumen) identitas budaya urban.

Integrasi ini menunjukkan bahwa streetwear adalah wujud hibriditas budaya, di mana elemen global diserap dan dimaknai ulang sesuai konteks lokal. Komunitas streetwear berperan aktif sebagai kreator budaya, bukan hanya konsumen pasif. Mereka menciptakan makna baru melalui interaksi sosial, media, dan konsumsi produk, yang mencerminkan logic of distinction dan ekspresi diri.
Baca juga: https://naramakna.id/pariwisata-bandung-jelajahi-pesona-urban/
Streetwear: Dari Perlawanan ke Ekspresi Diri
Fenomena ini menunjukkan proses negosiasi identitas melalui praktik konsumsi simbolik, produksi kreatif, dan representasi komunitas. Streetwear bukan sekadar pakaian, ia adalah tentang siapa, dari mana asal, dan bagaimana seseorang ingin dilihat dalam tatanan sosial urban modern.
Ini menunjukkan bahwa makna budaya bersifat dinamis, terbentuk, dinegosiasikan, dan terus berubah seiring dengan relasi kuasa, media, dan perkembangan masyarakat. Streetwear adalah contoh konkret bagaimana budaya jalanan dapat menjadi budaya pasar, lalu kembali menjadi arena ekspresi dengan makna dan fungsi yang berbeda.
Dahulu, orang memaknai streetwear sebagai simbol perlawanan subkultur untuk melawan dominasi budaya mapan. Sebaliknya, kini mereka memaknai streetwear sebagai ekspresi diri dan distingsi sosial, dengan tujuan utama menampilkan citra kelas, gaya hidup, dan eksistensi.