Fenomena sound horeg, yang identik dengan dentuman bass berintensitas tinggi dan kerap menggetarkan tanah saat melintas, kini berada di persimpangan jalan. Dikenal sebagai simbol perayaan rakyat, praktik budaya ini kini menuai sorotan tajam dari berbagai pihak, mulai dari aparat kepolisian, ulama, hingga pemerintah daerah seperti Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak.
Asal-usul dan Perkembangan sebagai Budaya Populer
Secara historis, fenomena sound horeg mulai populer di Indonesia, khususnya di wilayah Malang, Jawa Timur, sejak sekitar tahun 2014.
Istilahnya sendiri merupakan gabungan dari bahasa Inggris, sound (suara), dan bahasa Jawa, Horeg (bergetar), yang secara harfiah menggambarkan efek getaran yang ditimbulkan.
Awalnya, sound system dengan volume tinggi digunakan untuk memeriahkan arak-arakan tumpeng atau pawai desa, sebuah praktik budaya kolektif yang telah berlangsung lama.
Namun, seiring perkembangan zaman, sistem audio tersebut bertransformasi menjadi kendaraan berukuran raksasa yang dilengkapi dengan tumpukan speaker dengan daya ribuan watt. Bagi sebagian komunitas, terutama di kalangan pemuda pedesaan, “sound horeg” menjadi identitas, ajang unjuk kreativitas modifikasi, dan simbol kegembiraan yang sulit diwakili oleh bentuk hiburan lainnya.

Baca Juga: https://naramakna.id/konser-tasikmalaya-seni-vs-konservatisme/
Dampak Lingkungan dan Kesehatan yang Mengancam
Di balik euforia yang diciptakan, sound horeg menyimpan bahaya signifikan bagi lingkungan dan kesehatan. Dari sisi kesehatan, para ahli memperingatkan bahwa paparan suara ekstrem yang bisa mencapai 135 desibel jauh melampaui ambang batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 85 desibel.
Paparan berlebihan dapat menyebabkan Gangguan Pendengaran Akibat Bising (NIHL) atau kerusakan permanen pada saraf telinga. Dampak lain termasuk meningkatnya hormon stres dan risiko masalah kardiovaskular.
Dari sisi lingkungan, getaran yang dihasilkan oleh sound horeg berpotensi merusak infrastruktur, seperti menyebabkan kaca jendela pecah atau retakan pada bangunan.
Selain itu, sebuah penelitian di IPB University juga mengingatkan bahwa penggunaan sound horeg di dekat perairan laut dapat mengancam ekosistem, mengganggu komunikasi dan navigasi mamalia laut, serta menyebabkan stres pada ikan.
Wagub Jatim dan Kritik terhadap Sound Horeg
Kritik terhadap sound horeg juga datang dari ranah moral dan ketertiban umum. Mengacu pada artikel yang diterbitkan oleh SuryaMalang.com, Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, mengungkapkan keheranannya terhadap fenomena ini.
Emil Dardak menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap beberapa arak-arakan yang menampilkan penari dengan pakaian seronok di ruang publik.
“Ini seperti memindahkan kelab malam ke jalan. Saya tidak setuju dengan praktik seperti ini,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa sound horeg harus mematuhi regulasi dan fatwa ulama agar tidak mengganggu ketertiban umum dan norma-norma agama.
Pernyataannya mencerminkan kekhawatiran terhadap pergeseran makna pesta rakyat menjadi sebuah hiburan yang dianggap melanggar etika sosial dan agama.
Kesimpulan, Mencari Titik Temu Antara Kebebasan Berekspresi dan Ketertiban. Fenomena sound horeg dengan demikian menjadi medan pertarungan budaya yang kompleks. Di satu sisi, ia adalah ekspresi kreativitas dan identitas dari komunitas akar rumput.
Disisi lain, ia berbenturan dengan narasi ketertiban, kesehatan, dan moralitas yang diusung oleh pemerintah dan sebagian masyarakat. Larangan dan fatwa yang bermunculan adalah upaya untuk menertibkan ruang publik dan memastikan bahwa sebuah perayaan tidak mengorbankan kenyamanan dan keselamatan orang lain.
Dengan informasi yang telah dikumpulkan, artikel ini berupaya memberikan gambaran utuh dan berimbang terkait isu sound horeg, yang bukan hanya sekadar soal volume suara, melainkan juga soal ruang, identitas, dan kekuasaan.