Di balik deretan pakaian murah dan tren kekinian yang menjamur di Jawa Barat, kita menemukan ongkos sosial dan ekologis yang belum terbayar sepenuhnya. Industri fast fashion, yang memproduksi massal tren cepat dan murah, telah tumbuh pesat di provinsi ini. Namun, pertumbuhan ini menyembunyikan sisi gelap yang data dan laporan investigatif ungkapkan.
Menurut laporan Global Focus Universitas Brawijaya (2022), ekspansi industri garmen dan tekstil di Jawa Barat menyerap puluhan ribu tenaga kerja dan berkontribusi pada peningkatan ekspor nasional. Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Bekasi menjadi kantong produksi utama. Sayangnya, di balik kontribusi ekonomi tersebut, industri ini menjadikan Sungai Citarum sebagai korban utama.

Baca Juga: https://naramakna.id/belanja-online-solusi-efisien-bagi-ibu-ibu/
Dampak Lingkungan Industri Fast Fashion
Industri fast fashion sekarang menjadi salah satu penyumbang terbesar kerusakan lingkungan global. Data internasional mencatat sektor ini menyumbang sekitar 10% dari total emisi karbon dunia, lebih tinggi dari gabungan industri penerbangan dan pelayaran. Selain itu, industri ini juga menggunakan lebih dari 141 miliar meter kubik air setiap tahunnya dan berkontribusi 35% terhadap mikroplastik, seperti yang uniformMarket sampaikan.
Angka-angka tersebut menggambarkan betapa mahalnya harga sesungguhnya dari pakaian murah. Konsumen mungkin hanya mengeluarkan puluhan ribu rupiah untuk satu helai kaos, tetapi bumi membayar dengan miliaran liter air, udara yang semakin terpolusi, dan laut yang terkontaminasi plastik mikro.
Selain itu, pola konsumsi masyarakat juga memperparah persoalan. Banyak konsumen, terutama generasi muda di wilayah urban seperti Bandung dan Bekasi, tergoda oleh tren fashion yang terus berganti di media sosial. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa limbah tekstil menjadi salah satu penyumbang terbesar di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), setelah plastik dan sisa makanan. Budaya daur ulang yang minim dan sistem pengelolaan limbah fashion yang belum memadai memperbesar ancaman bagi keberlanjutan lingkungan hidup di masa depan.
Dengan semua data dan dampak yang terungkap, masyarakat tidak bisa lagi memandang fast fashion di Jawa Barat hanya sebagai peluang ekonomi atau tren gaya hidup. Di balik harga murah dan kemudahan akses industri ini menyembunyikan biaya lingkungan dan sosial yang mahal. Jika pemerintah tidak menyeimbangkannya dengan regulasi ketat, perubahan pola konsumsi serta kesadaran kolektif akan keberlanjutan, industri ini justru akan menjadi bom waktu bagi ekosistem.