Sinetron tidak lagi sekadar hiburan ringan di layar kaca. Di balik cerita penuh konflik keluarga dan tokoh dramatis, proses budaya aktif terjadi. Penonton, khususnya ibu-ibu, tidak hanya menyaksikan, tetapi juga menafsirkan dan memproduksi makna dari tayangan yang mereka konsumsi setiap hari.
Dalam kerangka kajian budaya, televisi bukan media pasif yang mentransmisikan ideologi, melainkan arena pertarungan makna antara produsen dan penonton. John Fiske dalam Television Culture menegaskan gagasan ini, bahwa tayangan televisi hanyalah potensi makna. Makna sejati terbentuk saat penonton, melalui latar sosialnya, membaca dan menafsirkan tayangan tersebut.
Baca juga: https://naramakna.id/sore-istri-dari-masa-depan-psikologi-ikhlas/
Fenomena ini jelas terlihat pada interaksi ibu-ibu dengan sinetron di waktu senggang. Mereka tidak menonton tayangan konflik mertua-menantu, perselingkuhan, atau perebutan harta secara pasif. Ibu-ibu sering memaknai cerita berdasarkan pengalaman personal, nilai lokal, hingga aspirasi sosial mereka. Dialog sinetron yang hiperbolik justru sering menjadi bahan lelucon, sindiran, atau perbandingan dengan kehidupan nyata.
Kegiatan menonton tidak berhenti di depan televisi. Dalam forum sosial seperti arisan, pengajian, hingga grup media sosial, sinetron menjadi bahan diskusi hidup. Di sana, penonton saling membandingkan tafsir, menyusun opini, bahkan membentuk solidaritas berdasarkan karakter favorit atau peristiwa fiktif yang relevan dengan kenyataan sosial mereka.

Sinetron Serta Dominasi Penonton Dewasa
Survei Nielsen Indonesia pada tahun 2022 menunjukkan bahwa mayoritas pengguna televisi di Indonesia berusia 50 tahun ke atas, mencapai 23% dari total pengguna TV. Kelompok usia 30-39 tahun dan 20-29 tahun juga memiliki persentase yang signifikan dalam menonton TV.
Hal ini secara tidak langsung mendukung observasi bahwa sinetron, sebagai salah satu program televisi paling diminati, memiliki daya tarik kuat di kalangan penonton dewasa, khususnya ibu-ibu. Laporan Lembaga Sensor Film Indonesia (LSF) tahun 2021 juga mencatat bahwa sinetron menjadi program favorit masyarakat Indonesia, diminati oleh 34,6% responden, sedikit lebih tinggi dari program berita.
Secara struktural, banyak sinetron memang memuat nilai-nilai dominan seperti patriarki, moralitas konservatif, dan simbol kelas menengah. Namun, penonton tidak serta merta menerima nilai-nilai itu begitu saja. Ibu-ibu sebagai penonton aktif justru sering mengkritik ketidakadilan gender, mendukung karakter perempuan kuat (meski ditampilkan sebagai jahat), atau menolak citra ideal istri penurut yang disodorkan secara halus.
Baca juga:https://naramakna.id/fenomena-ibu-ibu-kalcer-liburan-gaya-hidup/
Inilah bentuk resistensi simbolik yang Fiske sebutkan. Tayangan televisi menjadi medan perundingan ideologi, di mana penonton dari kelompok subordinat tetap mampu menegosiasikan posisi mereka. Melalui sinetron, ibu-ibu dapat menegaskan identitas, merefleksikan pengalaman hidup, hingga mengkritik struktur sosial tanpa harus keluar dari ruang domestik.
Dalam dunia yang dipenuhi suara elite dan media formal, sinetron menjadi media populer yang membuka peluang partisipasi budaya. Penonton, dalam hal ini ibu-ibu, menunjukkan bahwa konsumsi media bukanlah proses satu arah. Mereka hadir sebagai pembaca aktif yang mampu mengolah narasi dominan menjadi sarana refleksi dan ekspresi sosial.
Televisi memang sarat ideologi, tetapi makna akhir tetap ditentukan oleh penontonnya. Dan di banyak ruang keluarga, makna itu sedang dibentuk oleh tangan-tangan ibu yang menyalakan remote bukan hanya untuk menonton, tapi untuk memahami dan merespons dunia.