Kalau mengingat Purwakarta, yang terlintas mungkin air mancur menari di malam hari. Tapi bagi pecinta kuliner sejati, ada satu alasan lain yang lebih menggoda untuk datang yaitu sate maranggi.
Dikenal sebagai salah satu ikon kuliner Jawa Barat, sate maranggi bukanlah sekadar sate biasa. Daging sapi empuk yang dibakar di atas bara, dibumbui rempah khas Sunda, lalu disajikan tanpa embel-embel saus kacang atau sambal kacang, menjadikannya berbeda dari kebanyakan sate Nusantara lainnya.
Baca juga: https://naramakna.id/botram-simbol-kebersamaan-budaya-sunda/
Namun yang jarang diketahui, sate maranggi di Purwakarta punya tiga wajah rasa yang berbeda, tergantung di mana kamu menikmatinya. Wanayasa, Plered, atau Cibungur. Meski membawa nama yang sama, tiap tempat memiliki kekhasan bumbu, teknik memasak, hingga karakter penyajian. Bagi yang ingin mengenal lebih dalam, menjelajahi ketiganya seperti membaca tiga bab dari satu buku yang sama, dengan rasa yang berubah-ubah, namun tetap menggugah.

Wanayasa: Manisnya Alam Pegunungan
Di ketinggian kaki Gunung Burangrang, Wanayasa menyuguhkan sate maranggi dengan rasa paling klasik. Bumbu rendaman terdiri dari kecap manis, bawang putih, ketumbar, dan sedikit cuka untuk memberikan sentuhan seimbang. Setelah direndam berjam-jam, daging sapi yang dipotong agak tebal dibakar perlahan di atas arang hingga empuk dan harum.
Yang menarik, sate maranggi di Wanayasa hampir selalu disajikan tanpa saus tambahan. Tak ada sambal, tak ada bumbu kacang. Yang ada hanya daging empuk dengan rasa manis gurih yang meresap sempurna.
Pelengkap favoritnya? Ketan bakar dan teh tawar panas. Sensasi makan sate di tengah hawa sejuk pegunungan membuat pengalaman kuliner ini terasa lebih syahdu dan mengena.

Plered: Gurih-Pedas Penuh Karakter
Beranjak ke arah selatan, wilayah Plered menawarkan varian sate maranggi dengan pendekatan berbeda. Di sini, banyak penjual justru tidak menggunakan bumbu rendaman. Daging sapi maupun kambing dipotong kecil dan langsung dibakar. Setelah matang, sate disajikan dengan sambal oncom, sambal kecap rawit, atau bahkan hanya garam dan jeruk nipis.
Karakter sate Plered lebih berani dan kasar, dalam arti baik. Kamu akan merasakan rasa asli daging yang lebih menonjol, ditambah hentakan pedas dari sambalnya. Untuk pecinta kuliner pedas, ini adalah pilihan yang tepat. Plered memberi pengalaman makan sate yang terasa lebih liar, cocok bagi yang ingin sensasi berbeda dari sate manis pada umumnya.

Cibungur: Komplit dan Siap Go Nasional
Jika kamu berada di jalur Pantura atau Trans-Jawa, Cibungur adalah tempat paling strategis untuk menyantap sate maranggi. Wilayah ini, yang terletak dekat gerbang masuk kota Purwakarta, telah melahirkan beberapa restoran maranggi ternama seperti Sate Maranggi Hj. Yetty, yang kini sudah punya cabang di berbagai kota besar.
Berbeda dari versi tradisionalnya, sate maranggi di Cibungur hadir dengan konsep yang lebih modern. Pilihan dagingnya variatif, mulai dari daging sapi, kambing, bahkan ayam. Bumbu rendamannya lebih kompleks, dan penyajiannya pun komplet mulai dari nasi uduk, lontong, acar, sambal tomat, hingga es kelapa muda. Tak heran jika tempat ini jadi favorit para pemudik dan pelancong dari luar daerah.
Cibungur merepresentasikan evolusi maranggi dari makanan rakyat menjadi kuliner nasional. Bahkan dalam ASEAN Food Festival 2019 di Malaysia, sate maranggi asal Purwakarta menjadi salah satu menu yang paling cepat habis disantap pengunjung internasional. Dan pada 2017, Kementerian Pariwisata RI menetapkan sate maranggi sebagai bagian dari 50 Ikon Kuliner Nasional, sejajar dengan rendang, gudeg, dan pempek.
Bukan Sekadar Rasa, Tapi Cermin Budaya
Menariknya, perbedaan antara sate maranggi dari tiga wilayah ini bukan sekadar soal bumbu, tapi juga mencerminkan identitas budaya dan gaya hidup masyarakatnya. Wanayasa yang berada di pegunungan cenderung tenang dan manis. Plered yang lebih agraris bersifat jujur, pedas, dan spontan. Sementara Cibungur yang berada di jalur ekonomi besar tampil dengan rasa kompleks dan kemasan modern.
Kuliner, pada akhirnya, adalah cermin dari tempat asalnya. Dan sate maranggi adalah refleksi dari keberagaman lokal dalam satu kabupaten kecil di Jawa Barat. Perbedaannya tak memecah, tapi justru memperkaya. Masing-masing versi menyumbang warna berbeda untuk satu nama yang sama.