Narapandang

Pentingnya Reputasi Dalam Menangkal Desas-desus

Omzet pedagang kaki lima anjlok karena desas-desus, seperti kabar bakso atau sate dicampur daging tikus, sering kita dengar. Desas-desus semacam itu mengganggu reputasi mereka, membuat pembeli menjauh. Ini bukan masalah sepele yang bisa diremehkan dengan mengatakan, “Ah, itu kan cuma desas-desus, kita jawab saja dengan fakta.”

Meremehkan desas-desus sama saja menganggap penyebab kecil akan selalu menghasilkan dampak kecil. Padahal, dampak besar justru bisa bermula dari hal-hal kecil. Puntung rokok yang kecil saja, misalnya, telah menyebabkan kebakaran besar. Tiga rumah kontrakan di Kota Jambi ludes pada 12 Juli 2025 dan 100 hektar hutan di Samosir terbakar pada 1 Juli 2025, keduanya akibat puntung rokok yang dibuang sembarangan.

Banyak yang berpikir, “Ah, ini kan hanya usaha kecil. Tidak perlu menjaga reputasi. Kalau usaha besar baru perlu.” Pemikiran ini keliru. Ukuran usaha tidak menentukan kebutuhan akan reputasi. Sekolah, perguruan tinggi, kios pasar, pedagang emperan, perusahaan menengah, hingga perusahaan besar—semuanya membutuhkan reputasi. Semua usaha harus memperbaiki, menjaga, dan meningkatkan reputasinya. Muara dari reputasi yang baik adalah pemasaran dan penjualan yang baik.

Baca juga: https://naramakna.id/leo-kristi-dan-pesan-nasionalisme-dalam-lagu/

Oleh karena itu, penting untuk menjaga reputasi usaha dari hal-hal yang mengganggu atau merusaknya, termasuk desas-desus. Di era digital, desas-desus mudah menyebar melalui media sosial. Larbi Bouamama (2025) dari Universitas Abdelhamid Ibn Badis, Mostaganem, Aljazair, menyebut desas-desus terjadi saat manusia berinteraksi di ruang sosial. Desas-desus menjadi sarana penyebaran berita, agresi simbolis, perusak reputasi, pendorong percekcokan, dan alat untuk menghancurkan musuh dalam perang dan konflik.

Bouamama juga menegaskan dampak signifikan desas-desus. Kita tidak bisa memandang sebelah mata desas-desus yang dampaknya bisa sangat merugikan, bahkan menyebabkan usaha tutup. Kita tidak bisa hanya menjawab desas-desus dengan, “Itu informasi tidak berdasar,” “Itu tidak benar,” atau “Ah, kabar seperti itu dipercaya.” Pasalnya, berdasar atau tidak, benar atau tidak, dan dipercaya atau tidak, desas-desus tetap menyebar. Seiring waktu, karena semakin banyak yang menceritakannya, orang-orang akan menganggap apa yang didesas-desuskan itu sebagai kebenaran.

Memang, manusia cenderung melengkapi informasi yang tidak lengkap, kemudian menceritakannya kembali secara lisan atau melalui media sosial. Terkadang, kompetitor juga memelihara dan mengembangkan desas-desus untuk kepentingan mereka.

Maka dari itu, diperlukan langkah kontradesas-desus. Kita menyangkal desas-desus dan menunjukkan bukti yang berlawanan dengan apa yang didesas-desuskan.

Exit mobile version