“Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tapi soal membentuk manusia yang bernalar, bernurani, dan bermakna.”
PISA 2022 telah menampar keras dunia pendidikan Indonesia. Meskipun berbagai upaya reformasi kurikulum dan percepatan digitalisasi berlangsung, siswa Indonesia justru menunjukkan penurunan skor dalam tiga bidang utama: membaca, matematika, dan sains. Skor 359 untuk membaca, 366 untuk matematika, dan 383 untuk sains tidak hanya rendah di tingkat internasional, tetapi juga menandai kemunduran signifikan dibandingkan capaian dua dekade lalu. Ini berarti, kita telah kembali ke titik awal, mencerminkan skor Indonesia pada PISA tahun 2003 hingga 2006. Dua puluh tahun berlalu, tetapi sistem pendidikan kita belum menunjukkan lompatan berarti.
Kemerosotan yang Sistemik Terkuak
PISA 2022 Indonesia mengungkap krisis struktural dan mendalam yang kita hadapi. Proporsi siswa yang gagal mencapai level kecakapan minimum (Level 2) meningkat drastis, terutama dalam membaca. Meskipun kesenjangan antara siswa berprestasi tinggi dan rendah menyempit, ini terjadi bukan karena kelompok terbawah membaik, melainkan karena kelompok teratas justru mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan penurunan kualitas yang menyeluruh, tidak hanya pada siswa dari latar belakang sosial ekonomi rendah. Sayangnya, sebagian besar kebijakan pendidikan kita masih terpaku pada angka kelulusan, peringkat, dan akreditasi, bukan pada esensi pembelajaran itu sendiri.
Mendefinisikan Ulang Pendidikan: Dari Kognisi ke Akal Budi
Fenomena ini mendorong kita untuk merefleksikan kembali cara kita memahami pendidikan. Apakah pendidikan selama ini benar-benar memanusiakan? Apakah kita telah memberi ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, bertanya, dan tumbuh sesuai potensinya? Ataukah kita hanya memproduksi lulusan dengan standar kognitif yang dangkal, tanpa memperhatikan daya nalar dan akal budinya? Pendidikan tidak boleh lagi hanya dipandang sebagai alat produksi tenaga kerja atau mesin pencetak nilai ujian. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, yang membentuk karakter, memperkuat nalar, dan menumbuhkan kepedulian sosial. Di sinilah urgensi membangun sistem pendidikan berbasis akal budi: sebuah pendekatan yang tidak hanya berorientasi pada hasil akademik, tetapi pada pembentukan pribadi yang utuh dan reflektif.
Harapan yang Tak Padam: 15 Persen yang Menyalakan Cahaya
Namun, di balik data yang suram, PISA 2022 Indonesia juga memberikan setitik cahaya harapan. Sebanyak 15% siswa dari keluarga miskin berhasil mencatat skor tertinggi secara nasional. Ini membuktikan bahwa ketekunan, dukungan lingkungan, dan kualitas guru mampu mengatasi keterbatasan ekonomi. Anak-anak ini menunjukkan bahwa potensi tidak ditentukan oleh latar belakang, melainkan oleh peluang yang diberikan. Oleh karena itu, transformasi pendidikan bukan hanya tentang kurikulum dan teknologi, tetapi juga tentang keadilan dan keberpihakan. Kita perlu memastikan setiap anak, di mana pun ia berada, mendapat kesempatan yang setara untuk berkembang.
Saatnya Pendidikan yang Memanusiakan Datang
PISA 2022 Indonesia bukan hanya cermin, melainkan cermin yang retak. Kita tidak boleh meratapinya, melainkan menyadari dan memperbaikinya. Jika bangsa ini ingin bertahan dan maju di era disrupsi, maka ia harus menanamkan akal budi sebagai fondasi pendidikannya. Ini bukan lagi sekadar reformasi kurikulum atau peningkatan infrastruktur, tetapi revolusi dalam cara kita melihat dan memperlakukan pendidikan: sebagai alat untuk membentuk manusia seutuhnya—yang berpikir, merasa, dan bertindak dengan kesadaran penuh. Karena bangsa yang gagal mendidik akal budinya, pada akhirnya akan kehilangan arah di tengah arus zaman yang terus berubah.
Ayo mampir juga ke https://apcoms.co.id/