Sampai tahun 1990-an, masyarakat kita masih kerap menggunakan alam sebagai sumber pengibaratan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang lambat berpikir disebut berotak udang. Orang Sunda menggambarkan seseorang yang berjalan anggun dengan ungkapan “lir macan teu nangan”.
Klub sepak bola pun mengadopsi kekuatan binatang sebagai identitas: Maung Bandung, Macan Kemayoran, dan Ayam Kinantan. Klub digital pertama Indonesia, Inter Nusantara, yang berdiri pada 2023 dan berkompetisi di One Future Football (1FF), memakai julukan Garuda Warrior. Bahkan klub asal Spanyol, Leganés, memilih julukan Los Pepineros yang berarti “petani mentimun”.
Lagu-lagu lama juga memanfaatkan elemen alam untuk menggambarkan kecantikan. Mereka melukiskan wajah cantik sebagai bulan purnama, glowing alami. Rambut indah digambarkan sebagai mayang terurai. Alam menjadi sumber metafora yang memperkaya bahasa dan budaya.
Namun, saat ini pengibaratan bergeser. Istilah dari dunia digital makin sering muncul dalam percakapan sehari-hari. Orang yang lambat berpikir kini dijuluki lola (loading-nya lama). Anak kecil yang baru bangun dan belum aktif disebut masih loading. Ungkapan mode siang dan mode malam menyindir perilaku seseorang yang berubah tergantung waktu.
Orang juga mengibaratkan otak sebagai prosesor tubuh. Jika seseorang sulit memahami sesuatu, mereka menyebutnya masih menggunakan Pentium 1. Pengantin baru digambarkan baru tahu fitur standar pasangan, seperti saat menjajal gawai dengan fitur terbatas.
Baca juga: https://naramakna.id/manusia-bermain-tak-pernah-berhenti/
Dunia komputer juga menyerap istilah medis. Kata virus, yang sebelumnya merujuk pada penyakit, kini menjelaskan ancaman digital. Maka muncullah istilah antivirus. Sementara itu, kata viral atau tular menggambarkan sesuatu yang menyebar cepat di media sosial.
Perubahan dalam pengibaratan ini mencerminkan pergeseran peradaban. Masyarakat kita berpindah dari cara pandang yang berakar pada alam ke dunia buatan manusia, khususnya teknologi digital. Tujuan tetap sama: menyederhanakan kenyataan dan menambah sudut pandang.
Jika dulu keperkasaan klub sepak bola digambarkan dengan simbol hewan buas, kini kita melihat humor digital mewarnai bahasa, seperti mode malam on untuk menggambarkan transformasi perilaku seseorang.
Lambat laun, kita makin terbiasa dengan gaya bahasa digital ini. Kita tetap memakai metafora dari alam, tapi kini melengkapinya dengan istilah teknologi. Orang menyamakan pelatihan atau bekerja dengan proses di-charge. Tujuan hidup kini disebut bukan sekadar harta dan tahta, tapi juga kuota—plesetan dari ungkapan lama: harta, tahta, dan wanita.