Pendidikan, secara filosofis, seharusnya menjadi proses pencarian kebenaran, realitas diri, dan alat pembebasan dari segala bentuk penindasan. Namun, pendidikan modern sering kali menunjukkan hal sebaliknya. Pemikir kritis Paulo Freire menyoroti fenomena pendidikan yang mengekang dan menindas masyarakat, yang ia sebut sebagai “Pendidikan Gaya Bank” (Banking Education). Untuk mengatasi ini, pendidikan hadap masalah menjadi jawabannya.
Freire berpendapat bahwa pendidikan bukan sekadar pewarisan informasi dari satu generasi ke generasi lain. Lebih dari itu, pendidikan harus menanamkan kejujuran, tanggung jawab, dan membentuk pribadi manusia seutuhnya. Jika tidak, ia hanya menjadi “Banking Education,” sekadar pengiriman informasi tanpa memanusiakan.
Pendidikan Gaya Bank: Menumpulkan Nalar dan Kreativitas
Dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan adalah anugerah dari mereka yang berpengetahuan kepada mereka yang tidak tahu apa-apa. Freire (2001:1 dalam Husni, 2020:42) mengkritik keras pandangan ini, menyatakan bahwa menganggap orang lain bodoh secara mutlak adalah ciri ideologi penindasan, yang mengingkari pendidikan sebagai proses pencarian. Tidak heran, “pendidikan gaya bank” memandang manusia sebagai objek yang mudah diatur (Freire, 2008:xx).
Secara aplikatif, sistem ini menempatkan peserta didik sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan pemahaman dan pengetahuan yang ditentukan oleh kurikulum. Peserta didik diposisikan sebagai pihak yang tidak tahu apa-apa, yang harus dijejali dalil-dalil tanpa pemahaman komprehensif mengenai fungsi teori tersebut dalam kehidupan nyata.
Akibatnya, ilmu yang mereka pahami hanyalah sebatas teori yang jauh dari realitas keseharian. Padahal, ilmu pengetahuan seharusnya menjadi upaya mengenali kehidupan dan menunjang nalar dalam memahami diri dan lingkungan. Kreativitas dan potensi keilmuan peserta didik terpasung oleh sistem yang kaku ini (Ismail, F, 2013).