Sorak sorai, lumpur, dan hadiah-hadiah di puncak pinang menjadi pemandangan khas setiap perayaan 17 Agustus di Indonesia. Namun siapa sangka, permainan rakyat yang akrab dengan semangat gotong royong ini dulunya merupakan hiburan elit kolonial Belanda untuk merayakan hari jadi kerajaan mereka.
Sejarawan budaya Fandy Hutari dalam tulisannya mengungkap bahwa panjat pinang pertama kali muncul di Hindia Belanda pada awal abad ke-20, dan sering digelar untuk memperingati ulang tahun Ratu Wilhelmina atau pesta pernikahan para pejabat Belanda. Kala itu, masyarakat pribumi dijadikan tontonan saat mereka berebut hadiah dengan memanjat batang pinang licin yang dilumuri minyak.
Tradisi ini bahkan memiliki akar yang lebih jauh. Beberapa catatan menunjukkan bahwa konsep panjat batang tinggi untuk hadiah sudah dikenal di Tiongkok sejak Dinasti Ming (1368–1644) dengan nama qiang gu, yang kemudian diadaptasi dan berkembang di wilayah Asia termasuk Hindia Belanda.
Baca juga: https://naramakna.id/festival-budaya-indonesia-jaga-identitas/
Setelah Indonesia merdeka, tradisi ini tidak ditinggalkan, justru dimuat ulang dengan makna baru. Kini panjat pinang menjadi simbol perjuangan rakyat: setiap peserta harus bekerja sama, saling bahu-membahu untuk mencapai puncak, mencerminkan gotong royong dan nasionalisme yang kuat.
“Budaya adalah medan tafsir yang selalu bergerak,” ujar Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yudi Latif.
“Panjat pinang yang dulunya menjadi tontonan kaum elite kolonial kini berubah menjadi simbol perlawanan simbolik dan keceriaan kolektif rakyat. Ini bukti bahwa makna budaya bisa dibalik oleh masyarakat yang mengalaminya”, lanjutnya.
Panjat pinang dapat dibaca sebagai narasi balik dari praktik kolonial menjadi ritual lokal yang memperkuat identitas bangsa. Permainan ini tidak sekadar hiburan, melainkan bentuk resistensi budaya dan simbol rekonsiliasi sejarah.
Dengan segala dinamikanya, panjat pinang menjadi bukti bagaimana masyarakat Indonesia mereklaim simbol kolonial menjadi bagian dari jati diri nasional. Permainan itu kini tak hanya dipanjat, tetapi juga ditafsir ulang sebagai simbol perlawanan, solidaritas, dan harapan.