Musik dangdut bukan sekadar hiburan rakyat ia telah berkembang menjadi cermin kebudayaan yang merepresentasikan nasionalisme versi Indonesia masa kini telah cair, terbuka, serta akomodatif terhadap perubahan.
Salah satu bentuk paling mencolok dari transformasi ini adalah tren dangdut oplosan, bukan dalam arti minuman keras atau sekadar lirik lagu, melainkan sebagai metafora campuran budaya dalam industri musik populer.
Fenomena dangdut oplosan muncul saat elemen-elemen tradisional dangdut berpadu dengan berbagai genre seperti Electronic Dance Music, pop Barat, hingga hip-hop.
Perpaduan ini melahirkan warna musik baru yang tak lagi terikat pada kaidah lama, tetapi tetap mempertahankan akar lokal. Campuran inilah yang justru menjadi wajah baru nasionalisme bukan dari simbol-simbol formal, melainkan dari praktik budaya yang hidup di tengah masyarakat.
Dangdut Oplosan: Cerminan Nasionalisme Kontemporer
Laporan Lembaga Sensor Film (2023) mencatat bahwa 73% pendengar musik berusia 18–35 tahun menyukai dangdut dengan gaya campuran.
Sementara itu, survei Populix (2022) menemukan bahwa 61% responden menganggap dangdut modern lebih merepresentasikan identitas Indonesia masa kini, yang dinamis dan tidak anti terhadap perubahan.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa nasionalisme tidak lagi bersifat top-down tetapi kini merakitnya dari bawah ke atas, dari hajatan desa hingga trending di TikTok.
Dangdut oplosan menjadi cerminan bahwa identitas Indonesia sedang menegosiasikan secara aktif, melalui bahasa, musik, dan gaya hidup yang semakin multikultural dan inklusif bukan melalui keseragaman, tetapi melalui keberagaman yang mengoplos.

Baca juga: https://naramakna.id/sound-horeg-diharamkan-ini-polemiknya/
Fleksibilitas Dangdut dan Identitas Berdansa
Peneliti musik populer Andrew N. Weintraub dalam bukunya Dangdut Stories pada tahun 2010 menyebut dangdut sebagai musik rakyat yang paling fleksibel. Ia menulis bahwa dangdut dapat merangkul banyak unsur budaya sekaligus tetap terasa Indonesianya.
Dalam konteks ini, praktik oplosan dalam musik bisa membaca sebagai bentuk nasionalisme yang tidak kaku. Nasionalisme yang muncul bukan dari doktrin atau simbol negara, melainkan dari keberanian mencampur, mengolah, dan menampilkan budaya sendiri dengan cara baru.
Grup musik seperti OM Adella atau New Pallapa berhasil membangun basis massa lewat format musik yang menggabungkan bahasa daerah, instrumen tradisional, dan aransemen elektronik.
Sebagian besar penontonnya berasal dari kelas pekerja dan wilayah non-perkotaan, mereka yang jarang terdengar dalam narasi nasionalisme arus utama.
Lewat dangdut oplosan, masyarakat menunjukkan bahwa mencintai Indonesia tidak harus dengan seremonial formal. Cukup lewat irama, lirik, dan joget yang lahir dari realitas keseharian.
Di sanalah nasionalisme berdansa bukan di atas panggung politik, melainkan di lapak-lapak karaoke, hajatan warga, dan layar ponsel para pendengarnya.
Musik atau dangdut yang dioplos campuran lokal dan global tradisi dan modernitas menjadi bukti bahwa identitas kebangsaan tengah dinegosiasikan dari bawah, oleh rakyat sendiri.
Dengan demikian di sinilah dangdut tidak hanya menghibur, tetapi juga berbicara tentang siapa, dari mana berasal, dan Indonesia seperti apa yang sedang kita rayakan.