Example 468x60
Laga & Gaya

Milenial Tertekan: Ekspektasi atau Realita?

×

Milenial Tertekan: Ekspektasi atau Realita?

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI
banner 468x80

Pertanyaan-pertanyaan klasik seperti kapan lulus?, kapan nikah?, dan kapan punya anak? tidak lagi sekedar basa-basi keluarga. Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan tekanan psikologis yang signifikan bagi milenial dan generasi Z Indonesia, di balik kesannya yang ringan.

Katadata Insight Center (2023) mengungkapkan data bahwa 64,3% Gen Z dan milenial di Indonesia merasa tertekan ketika orang bertanya soal rencana hidup personal mereka, terutama mengenai pendidikan, pernikahan, dan keturunan.

Tekanan itu paling sering berasal dari orang tua, kerabat dekat, dan momen-momen sosial seperti Lebaran atau kumpulan keluarga.

Dari angka tersebut, kita melihat bahwa generasi muda tengah mengalami pergeseran nilai dan prioritas hidup, yang tidak selalu selaras dengan ekspektasi sosial atau budaya yang terwariskan.

Pergeseran Prioritas Milenial & Gen Z

Di tengah situasi ekonomi yang tidak stabil, persaingan kerja yang ketat, dan kesadaran yang meningkat akan kesehatan mental, banyak Gen Z dan milenial memilih untuk menunda atau bahkan tidak mengikuti pola hidup ideal yang selama ini kita anggap ideal.

Namun, ekspektasi sosial yang generasi sebelumnya wariskan masih melekat. Standar umur ideal untuk lulus kuliah, menikah, hingga memiliki anak tetap menjadi tolok ukur, meskipun tidak lagi relevan dengan tantangan hidup masa kini.

Ketika harapan tersebut bertabrakan dengan realitas personal dan struktural, tekanan mental muncul yang tidak bisa kita anggap sepele.

Milenial & Gen Z: Realita VS Ekspektasi
Ilustrasi AI

Baca Juga: https://naramakna.id/nomor-baru-privasi-digital-transisi-hidup/

Pernikahan Sebagai Keputusan Sadar, Bukan Kewajiban

Indonesia Millennial Report 2024 mencatat bahwa 57% milenial lebih memprioritaskan stabilitas mental dan finansial sebelum menikah, sementara 41% Gen Z belum siap berkomitmen karena alasan psikologis dan tujuan hidup yang belum jelas.

Ini berarti bahwa pernikahan tidak lagi mereka pandang sebagai kewajiban sosial yang harus mereka kejar dalam batas usia tertentu, melainkan sebagai keputusan besar yang memerlukan kesiapan emosional, finansial, dan kejelasan arah hidup.

Generasi muda hari ini semakin menyadari bahwa kualitas hubungan dan kesehatan pribadi lebih penting daripada sekadar memenuhi ekspektasi sosial.

Ketika harapan itu bertabrakan dengan realitas personal dan struktural, ketegangan batin muncul yang mengganggu kestabilan mental.

Dengan kata lain, data ini menegaskan bahwa intervensi sosial sekecil pertanyaan personal pun dapat berdampak besar, terutama bila orang tidak menyampaikannya dengan empati.

Di balik sepotong pertanyaan, tersimpan kekuatan simbolik budaya yang bisa menghakimi, memaksa, bahkan melemahkan.

Oleh karena itu, data ini seharusnya menjadi panggilan bagi masyarakat luas untuk mengubah cara berpikir bahwa menunda pernikahan bukanlah kegagalan, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri dan masa depan.

Dalam konteks ini, generasi muda tidak sedang melawan tradisi, tetapi sedang membentuk keseimbangan hidup yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Example floating