Example 468x60
Horison

Manusia Insang yang menyiratkan Suku Bajo

×

Manusia Insang yang menyiratkan Suku Bajo

Sebarkan artikel ini
Sumber Foto: Kompas Regional
banner 468x80

Selama berabad-abad Suku Bajo mampu menyelam hingga belasan meter tanpa alat bantu. Di wilayah pesisir seperti Wakatobi, Buton, dan Bone, masyarakat Bajo dikenal sebagai manusia insang karena ketangguhan mereka mengarungi laut.

Namun di balik keistimewaan itu, mereka masih menghadapi tak sedikit tantangan hidup. Sebuah studi dari University of Copenhagen, yang dipublikasikan dalam jurnal Cell tahun 2018, menemukan bahwa Suku Bajo memiliki ukuran limpa yang lebih besar dari manusia pada umumnya.

Adaptasi Unik Manusia Laut

Perbedaan ini memungkinkan mereka menyimpan oksigen lebih banyak dan menyelam lebih lama. Riset ini memperkuat anggapan bahwa kemampuan tersebut bukan hanya hasil latihan, tetapi juga adaptasi genetik yang mereka wariskan turun-temurun.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah domisili Suku Bajo, seperti Kabupaten Wakatobi, mencatat angka kemiskinan sebesar 17,02%, yang lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Angka tersebut menunjukkan kesenjangan pembangunan, bahwa masyarakat Bajo mewakili wajah maritim Indonesia yang sesungguhnya. Mereka hidup selaras dengan laut, namun tertinggal dalam akses kebijakan dan pembangunan.

Baca Juga: https://naramakna.id/mangrove-indramayu-karangsong-simbol-ketahanan-budaya/

Tantangan dan Potensi yang Terabaikan

Keunikan biologis dan budaya mereka seharusnya menjadi kekuatan, bukan alasan untuk menjadikan mereka objek eksotisme dalam industri pariwisata semata.

Banyak komunitas Bajo masih merasakan keterbatasan, mulai dari minimnya akses pendidikan hingga fasilitas kesehatan yang tidak memadai. Di sisi lain, pengetahuan lokal mereka terhadap laut justru menjadi aset penting dalam konservasi.

Laporan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) tahun 2022 mencatat bahwa Suku Bajo memiliki sistem pengetahuan ekologis yang kompleks. Mereka mampu membaca musim, memetakan arus, hingga menjaga ekosistem laut secara berkelanjutan.

Sayangnya, pemerintah belum sepenuhnya melibatkan pengetahuan ini dalam kebijakan pengelolaan laut. Meskipun kerap menjadikan Suku Bajo objek wisata budaya, mereka jarang melibatkan Suku Bajo dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka.

Dalam berbagai proyek pariwisata dan konservasi laut, mereka lebih sering menjadikan Suku Bajo pelengkap daripada mitra sejajar.

Fenomena ini mengungkap bahwa masyarakat yang paling memahami laut justru yang paling tidak mereka libatkan dalam pembangunan wilayah pesisir. Data dan riset membuktikan bahwa kekayaan budaya dan pengetahuan lokal Suku Bajo belum mendapatkan tempat layak dalam narasi kebangsaan.

Sebagai bangsa maritim, Indonesia seharusnya tidak hanya mengagumi keunikan Suku Bajo, tetapi juga melindungi dan memberdayakan mereka sebagai penjaga laut sejati.

Manusia insang menjadi istilah yang menyiratkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang tetap dan alami, melainkan terbentuk melalui proses negosiasi sosial yang terus berlangsung.

Dalam konteks Suku Bajo mulai melihat pergeseran saat mereka tidak lagi hanya memposisikan Suku Bajo sebagai objek budaya, melainkan mulai secara aktif melibatkan mereka sebagai pelaku dalam pengelolaan laut.

Example floating