Selama ini, kita cenderung mengasosiasikan bermain dengan masa anak-anak. Masa muda diisi dengan belajar, dan dewasa dengan berkarya. Bahkan, ada stigma “kekanak-kanakan” jika orang dewasa masih gemar bermain, atau rasa iba pada “pekerja anak” yang kehilangan masa bermain mereka.
Namun, pandangan ini ditantang oleh filsuf budaya asal Belanda, Johan Huizinga, melalui karyanya Homo Ludens (Makhluk yang Bermain). Menurut Huizinga, manusia tidak hanya berpikir dan berkarya, tetapi juga bermain, tanpa batasan usia. Permainan adalah bagian inheren dari sifat manusia.
Lima Ciri Permainan Menurut A. Rahmat (2014)
Merujuk pada penjelasan A. Rahmat (2014), konsep “makhluk yang bermain” dari Huizinga ditandai dengan lima karakteristik utama:
- Kegiatan Bebas: Permainan bersifat sukarela dan dilakukan dengan suka cita.
- Berbeda dari Rutinitas: Permainan adalah aktivitas yang terpisah dari kegiatan sehari-hari yang rutin.
- Waktu dan Tempat Khusus: Permainan memiliki batasan waktu dan ruang tertentu saat dilakukan.
- Aturan Main: Setiap permainan memiliki aturan yang jelas dan diawasi oleh pihak tertentu.
- Pengalaman Emosional: Permainan menciptakan perasaan dan pengalaman khusus selama berlangsung.
Baca juga:https://naramakna.id/cerita-sendal-jepit-dan-status-sosialnya/
Empat Kategori Permainan
A. Rahmat (2014) juga mengklasifikasikan jenis permainan menjadi empat kategori berbeda:
- Mimikri: Permainan yang melibatkan imitasi atau peniruan, seperti cosplay yang kita lihat di era digital.
- Agoni: Permainan yang bersifat kompetitif, misalnya pertandingan sepak bola yang memicu emosi penonton.
- Alea: Permainan yang bergantung pada keberuntungan atau adu nasib, seperti permainan dadu tradisional.
- Ilinx: Permainan yang memicu adrenalin, menggabungkan spontanitas (paidia) dengan keterampilan dan disiplin (ludus), contohnya game yang membutuhkan strategi dan refleks cepat.
Era Digital: Permainan Bagian Hidup Sehari-hari
Di era digital saat ini, permainan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Kita kerap menjadi penonton yang terhibur melihat orang lain bermain, terlibat dalam cosplay, atau terbawa emosi saat menonton klub sepak bola kesayangan. Bahkan, sekadar bermain game di ponsel sudah menjadi aktivitas yang umum.
Penting untuk diingat, asyik bermain bukan berarti kita melupakan kewajiban berpikir dan bekerja. Justru, unsur bermain dapat ditemukan dalam proses berpikir dan berkarya itu sendiri. Permainan bukanlah eksklusif bagi anak-anak, melainkan milik semua manusia.
Sebagai manusia, kita semua pasti pernah terlibat dalam permainan, entah sebagai pelaku atau sekadar penyaksi. Namun, kita juga harus waspada, karena terkadang kita bisa tanpa sadar menjadi korban permainan pihak lain, sebuah pengalaman yang seringkali menyakitkan.