Penolakan konser Hindia & Feast di Tasikmalaya membuka konflik lama antara konservatisme lokal dan ekspresi budaya. Sejumlah organisasi Islam meminta pembatalan penampilan Hindia di acara “Ruang Bermusik 2025” dengan alasan mempertahankan etika. Sebaliknya, mereka menganggapnya bertentangan dengan prinsip Islam dan citra Tasikmalaya sebagai “Kota Santri” karena lirik dan simbol dalam karya Hindia & Feast.
Namun, apakah konser musik memang mengancam identitas lokal sebegitu besar?
Kita harus menyadari bahwa Tasikmalaya memiliki tradisi religius yang kuat. Namun, ini tidak berarti bahwa kita harus menghindari dinamika budaya nasional, terutama jika itu sah dan tidak melanggar undang-undang. Konser ini bukan hanya hiburan, tetapi juga merupakan tempat bagi generasi muda untuk berekspresi, tempat untuk membuat karya seni, dan sarana untuk mendorong kreativitas ekonomi.
Menurut Medcom.id (2025), beberapa orang memperkirakan konser ini dapat “merusak” akidah generasi muda. Namun, hingga saat ini, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa konser Hindia menyebabkan kerusakan moral besar. Sebaliknya, lirik-lirik reflektif dan pribadi yang membahas tekanan mental, keresahan sosial, dan perjuangan hidup sangat disukai anak-anak muda yang mendengarkan karya Hindia & Feast. Apakah tidak lebih adil daripada konten yang mengandung kekerasan atau ujaran kebencian?

Baca juga: https://naramakna.id/konten-itu-segalanya-fenomena-dunia-digital/
Penolakan sepihak justru melecehkan keberagaman. Bukan segregasi yang menyebabkan kebudayaan berkembang, tetapi interaksi dan ruang terbuka. Konser tidak langsung mengubah identitas kota. Sebaliknya, itu dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang toleransi dan kebebasan berekspresi.
Solusi adalah mendiskusikan daripada membatalkan. Selain itu, pemerintah kota dan ormas dapat bekerja sama dengan panitia untuk memastikan penyelenggaraan berjalan sesuai rencana. Tanpa melarang total, sensor dan klarifikasi konten dapat kita lakukan. Ruang tengah sangat penting karena bangsa ini dibangun dari keberanian menyatukan perbedaan daripada suara mayoritas.
Karena bagaimanapun kegiatan ini mampu menjadi salah satu sarana agar Tasikmalaya lebih dikenal lagi di masyarakat luas. Kita sedang membunuh kreativitas perlahan-lahan jika generasi muda mulai takut mengekspresikan diri karena tekanan moral. Bukankah akan lebih bijaksana jika kita mengakui bahwa keberagaman merupakan bagian dari ciri khas bangsa kita?