Kita hidup di tengah begitu banyak istilah yang berseliweran. Ambil contoh deep learning, FOMO, POV, FYI, imagined community, jujurly, fetish, koding, dan disrupsi. Kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan moral memproduksi dan mereproduksi istilah-istilah itu melalui fasilitas yang mereka miliki. Kita semua merasa harus memahami istilah-istilah ini agar orang menganggap kita mengikuti perkembangan kekinian dalam bidang-bidang yang kita minati.
Padahal, dalam banyak bidang, orang akhirnya menghabiskan waktu hanya untuk mempelajari istilah-istilah tersebut. Mereka tidak mendalami tindakan nyata dengan menggunakan kerangka istilah tersebut.
Para guru meluangkan waktu untuk memahami berbagai istilah yang diciptakan oleh para pengambil kebijakan pendidikan, seperti koding dan deep learning atau pembelajaran mendalam (PM). Banyak orang juga berusaha memahami berbagai istilah yang diproduksi secara masif dalam dunia sosial agar mereka bisa mengerti apa yang orang maksudkan.
Aneka istilah itu akhirnya membentuk realitas tersendiri dalam kehidupan kita. Kita menganggap tindakan untuk memahami istilah itu sebagai tindakan paripurna. Padahal, kita mengharapkan tindakan nyata untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf kesejahteraan kita dalam berbagai bidang.
Baca juga: https://naramakna.id/konten-itu-segalanya-fenomena-dunia-digital/
Namun, aneka istilah itu kemudian sulit menjadi peta dalam realitas sosial yang menunjukkan arah dan panduan untuk menjalankan kegiatan yang diistilahkan. Kita kesulitan memaknai aneka istilah yang orang produksi dan reproduksi secara masif itu. Orang akhirnya memaknai istilah-istilah itu sesuai dengan persepsi mereka, sehingga perbedaan pemaknaan bahkan makna yang bertentangan bisa terjadi.
Akhirnya, fenomena kosong makna dari berbagai istilah itu mungkin muncul. Ini karena orang sulit memahami makna dan mengoperasikannya dalam tindakan. Kita mulai melihat bagaimana orang memaknai istilah sosialisasi yang semakin samar. Begitu juga istilah partisipasi yang orang berikan makin banyak pemaknaan dan konteks, sehingga kita bebas memaknai istilah partisipasi. Hal yang sama terjadi dengan emansipasi yang sering orang maknai sebagai kesamaan hak pria dan wanita, dan biasanya orang mereproduksi istilah itu menjelang Hari Kartini.
Pada akhirnya, kita pun tersesat di tengah belantara istilah. Kita bahkan kesulitan bernapas karena ada polusi istilah. Kita perlu bisa bernapas lega dalam kenyataan agar kita dapat bertindak secara bermanfaat.