Di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, festival budaya lokal di Indonesia tampil bukan hanya sebagai ajang hiburan, tetapi sebagai upaya kolektif yang menjaga identitas, tradisi, dan daya hidup komunitas.
Dua diantaranya, Festival Danau Sentarum di Kalimantan Barat dan Festival Layang-Layang di Bali, mencerminkan bagaimana budaya diwariskan sekaligus dimodernisasi.
Festival Danau Sentarum Gerbang Budaya dan Ekonomi Perbatasan
Festival Danau Sentarum, yang rutin mereka gelar di Kabupaten Kapuas Hulu, telah menjadi salah satu magnet budaya dan wisata perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.
Data Dinas Pariwisata Kapuas Hulu mencatat, lebih dari 15.000 pengunjung menghadiri festival ini pada 2017, dan festival ini menghasilkan perputaran ekonomi lokal sekitar Rp3 miliar.
Angka tersebut menunjukkan, peristiwa budaya ini memberi pemasukan langsung bagi pelaku ekonomi kecil seperti pedagang, seniman, pengrajin, serta operator wisata lokal.
Menurut laporan Kompasiana dan WWF Indonesia, Festival Danau Sentarum tidak hanya menyuguhkan parade perahu tradisional, tarian Dayak, dan lomba arwana super red, tetapi juga berbagai permainan rakyat yang jarang ditemui di ruang publik.
Bagi masyarakat lokal, festival ini lebih dari sekadar agenda tahunan. Festival ini menjadi ruang kolektif untuk merawat identitas, memperkuat rasa memiliki, dan menegaskan eksistensi budaya Dayak di tengah gempuran budaya luar.
Melalui festival ini, masyarakat bisa memperkenalkan tradisi yang biasanya terikat ruang kampung secara luas, termasuk kepada dunia internasional.

Baca Juga: https://naramakna.id/sejarah-tari-pacu-jalur-riau-yang-mendunia/
Festival Layang-Layang Bali Harmoni Tradisi dan Pariwisata
Sementara itu di Bali, Festival Layang-Layang, yang mereka gelar setiap Juli di Pantai Padang Galak, Denpasar, menyedot perhatian wisatawan domestik dan mancanegara.
Dilansir dari Wikipedia dan MantraBali.com, lebih dari 80 banjar adat ikut serta, dan mereka menerbangkan layangan raksasa berbentuk Bebean, Janggan, dan Pecukan sebagai simbol persembahan spiritual kepada Dewa Rare Angon.
Menurut laporan Deliveree (2025), okupansi hotel di kawasan Sanur melonjak hingga 85% selama festival berlangsung.
Melihat dari data tersebut, festival ini menegaskan bahwa Festival Layang-Layang Bali bukan sekadar agenda budaya tahunan, melainkan contoh nyata bagaimana tradisi lokal yang sarat makna spiritual bisa bersinergi dengan geliat ekonomi dan pariwisata.
Tradisi menerbangkan layangan raksasa sebagai persembahan kepada Dewa Rare Angon tidak hanya menjaga warisan leluhur tetap hidup, tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang menggerakkan sektor perhotelan, UMKM, hingga ekonomi kreatif.
Festival seperti ini bukan sekadar hiburan atau tontonan wisata. Di balik kemeriahannya, festival ini memiliki makna mendalam yang berkaitan dengan spiritualitas, identitas sosial, dan cara masyarakat memaknai kembali tradisi mereka.
Kehadiran festival budaya lokal seperti Danau Sentarum dan Layang-Layang Bali membuktikan bahwa tradisi tidak pernah benar-benar usang ia hanya butuh ruang, dukungan, dan relevansi baru untuk terus hidup.
Di tengah dunia yang terus berubah, festival semacam ini menjadi pengingat bahwa identitas budaya bukan warisan yang diam, melainkan sesuatu yang terus bergerak, dinegosiasikan, dan diperjuangkan oleh masyarakatnya sendiri.