Fenomena ibu-ibu kalcer atau ibu-ibu pencinta wisata dan budaya kekinian makin menonjol di kalangan urban. Dengan outfit senada dan pose estetik, mereka menjadikan aktivitas wisata bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai sarana eksistensi diri dan simbol gaya hidup.
Di berbagai kota besar, komunitas informal ini menjamur, menyusun itinerary, menyewa fotografer, hingga berbagi konten di Instagram dan TikTok. Aktivitas ini mencerminkan bagaimana konsumsi visual dan gaya hidup digital membentuk citra diri serta menegaskan posisi dalam masyarakat.
Stuart Hall (1997) menjelaskan bahwa identitas terbentuk melalui praktik representasi. Dalam konteks ibu-ibu kalcer, lokasi wisata bukan sekadar tempat liburan, melainkan ruang tampil di mana mereka merekonstruksi peran sosial. Bukan lagi sekadar ibu rumah tangga, tetapi individu yang aktif, berdaya, dan berjejaring.
Baca juga: https://naramakna.id/terjebak-tekanan-visual-cantik-atau-asli/
Riset Nugroho (2021) mencatat bahwa dokumentasi wisata di media sosial memberi penguatan sosial, terutama bagi perempuan urban. Sementara studi Sari & Nurliana (2020) menemukan bahwa wisata kelompok membuka ruang baru bagi perempuan untuk keluar dari batas domestik, menciptakan relasi sosial, dan merawat kesehatan mental.
Meski begitu, tren ini juga mengundang kritik. Sebagian pihak menilai gaya hidup tersebut terlalu berorientasi pada simbol status dan estetika yang terstandarisasi. Tempat wisata menjadi panggung yang menuntut penampilan tertentu agar layak tampil di linimasa.
Namun yang tak bisa diabaikan, komunitas ibu-ibu ini justru memperlihatkan dinamika baru dalam kehidupan sosial. Mereka berbagi peran, merencanakan kegiatan, hingga menjalankan solidaritas dalam bentuk aksi sosial di tengah aktivitas wisata.
Apa yang terlihat sekadar jalan-jalan sesungguhnya mencerminkan proses yang lebih dalam seperti negosiasi identitas, pembentukan makna, dan upaya membangun posisi dalam ruang sosial yang terus berubah. Dalam aktivitas liburan yang tampak santai itu, tersimpan dinamika budaya, relasi kuasa, dan upaya mempertahankan eksistensi dalam masyarakat yang kian visual dan simbolik.