Di era dominasi media sosial Gen Z Indonesia terus mengembangkan kebiasaan menggunakan fashion baru setiap kali hangout. Gaya berpakaian kini tidak hanya berfungsi sebagai kebutuhan dasar, tetapi juga sebagai representasi identitas, eksistensi, dan strategi pencitraan diri di dunia maya.
McKinsey & Company, dalam laporan The State of Fashion in Asia (2023), mengungkapkan bahwa 72% Gen Z di Asia Tenggara membeli pakaian baru bukan karena kebutuhan utama, melainkan untuk menjaga penampilan mereka tetap segar dan relevan di media sosial. Dari data tersebut bahwa Gen Z mengembangkan tren di mana mereka merasa perlu memakai outfit baru setiap kali hangout, terutama demi konten media sosial dan kepercayaan diri. Di Indonesia, pola konsumsi fashion digital yang terus meningkat memperkuat kecenderungan ini.

Baca Juga: https://naramakna.id/bandung-paris-van-java-jantung-mode-indonesia-yang-berdenyut-kuat/
Perilaku Transaksi Online
iPrice Group mencatat bahwa pada kuartal pertama tahun 2023, transaksi online di Indonesia naik 32%, dengan pembeli terbanyak berasal dari kelompok usia 18–24 tahun. Kenaikan signifikan ini menunjukkan bahwa perilaku belanja fashion khususnya untuk keperluan sosial seperti hangout dan konten media sosial, semakin menjadi bagian dari gaya hidup anak muda.
Fenomena ini terjadi di banyak negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan platform media sosial dan e-commerce menjadi pusat perkembangannya. Tekanan untuk selalu tampil berbeda dan menarik di setiap unggahan juga menjadi faktor utama. Dalam budaya digital yang sangat visual, outfit tidak hanya menjadi pakaian melainkan simbol status dan estetika personal yang wajib diperbarui.
Tren ini berkembang pesat sejak beberapa tahun terakhir dan meningkat signifikan pada kuartal pertama tahun 2023, seiring dengan meningkatnya aktivitas digital dan transaksi fashion online.
Dampak Lingkungan dan Solusi Fashion
Namun, tren ini membawa dampak serius terhadap lingkungan. Laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP) (2022) menyatakan bahwa industri fashion menyumbang 10% dari emisi karbon global dan menjadikannya salah satu penyumbang limbah tekstil terbesar sehingga fast fashion yang mendorong produksi cepat dan konsumsi impulsif memperburuk masalah ini. Bahwa tekanan sosial dari media sosial mendorong anak muda, khususnya Gen Z untuk selalu tampil menarik dan berbeda di setiap unggahan.
Oleh karena itu, penting bagi anak muda untuk mulai mengadopsi gaya hidup berkelanjutan seperti thrifting atau mix and match sebagai langkah nyata untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Pergeseran ini menunjukkan bahwa gaya berpakaian yang bertanggung jawab bisa menjadi bagian dari identitas personal tanpa harus mengorbankan Bumi.