Bubur merupakan salah satu jenis makanan yang memiliki perjalanan panjang dan menarik, khususnya dalam konteks akulturasi warisan budaya di Asia Tenggara. Bubur di Indonesia lebih dari sekadar makanan ringan. Ia adalah representasi dari perpaduan budaya Tionghoa, Melayu (Malaysia), dan Nusantara. Berbagai jenis bubur, seperti bubur ayam, bubur candil, bubur sumsum, dan bubur kacang hijau, menunjukkan proses akulturasi.
Sejak Dinasti Han (sekitar tahun 200 SM), bubur menjadi salah satu jenis makanan tertua di Asia. Makanan berbahan dasar beras yang dimasak hingga lembut mereka sebut zhou atau congee. Orang sakit dan anak kecil sering memakan makanan ini karena mudah dicerna.
Jejak Migrasi dan Pengaruh Budaya dalam Bubur
Jalur dagang dan migrasi membawa Tionghoa ke Asia Tenggara. Pedagang dan imigran Tionghoa datang ke Semenanjung Melayu, termasuk Malaysia dan Indonesia, dengan budaya kuliner mereka. Di Malaysia, bubur mereka sebut nasi atau congee. Dari sana, ia kemudian berkembang menjadi berbagai jenis bubur, seperti bubur lambuk, yang merupakan bubur khas Ramadan yang mereka campur daging dan rempah; dan bubur cha-cha, yang terbuat dari santan, ubi, dan mutiara sagu.

Kemunculan bubur ayam ala Tionghoa yang populer di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya menunjukkan pengaruh ini di Indonesia. Cakwe, irisan ayam rebus, daun bawang, dan kuah kaldu menjadi ciri khas bubur ini. Dalam buku Jejak Nusantara (2016), pengamat budaya kuliner mengatakan bahwa bubur ayam adalah contoh sempurna bagaimana orang Tionghoa beradaptasi dengan lidah lokal dan membuat menu yang dapat diterima oleh berbagai kelompok masyarakat.
Selain pengaruh Tionghoa, pengaruh Melayu (Malaysia) juga memperkaya varietas dan rasa bubur di Indonesia, terutama di Sumatra dan Kalimantan. Misalnya, bubur Sambas di Kalimantan Barat merupakan hasil akulturasi budaya Melayu dan suku Dayak lokal yang menggabungkan rempah-rempah sayuran lokal.
Baca juga: https://naramakna.id/nasi-kuning-itu-dulu-milik-ritual-sekarang-kaki-lima/
Warisan Budaya yang Terus Hidup
Tidak hanya pencampuran bahan makanan, akulturasi dalam sepiring bubur merepresentasikan keterbukaan, penerimaan, dan kreativitas budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad. Proses ini menunjukkan bahwa identitas kuliner Indonesia dibentuk oleh hubungan yang harmonis antara berbagai tradisi dan etnis, menjadikan bubur bukan hanya makanan sehari-hari tetapi juga warisan budaya yang terus hidup. Masyarakat Indonesia menjaga nilai toleransi dan keberagaman dengan melestarikan dan memaknai makanan hasil akulturasi seperti bubur.