Nasionalisme tidak selalu tentang sanjungan dan pujian semata. Ia juga bisa hadir dalam potret kondisi sosial yang menyakitkan, sebuah sisi lain yang sering diungkapkan oleh penyanyi dan pencipta lagu asal Surabaya, Leo Kristi. Musisi balada bernama lengkap H. Leo Imam Sukarno (8 Agustus 1949 – 21 Mei 2017) ini, bersama Konser Rakyat Leo Kristi, berhasil mengemas rasa nasionalisme dalam setiap lirik dan melodinya.
Salah satu karyanya yang paling terkenal, “Salam Dari Desa,” secara gamblang melukiskan ironi kehidupan pedesaan. Lagu ini menggambarkan desa yang subur dengan tanaman padi dan tebu yang melimpah, seperti pada bait pertama: “Kalau ke kota esok pagi/ Sampaikan salam rinduku/ Katakan padanya padi – padi telah kembang/ Ani – ani seluas padang/ Roda giling berputar – putar/ Siang malam.” Namun, Leo Kristi menambahkan kenyataan pahit dengan kalimat yang menusuk: “Tapi bukan kami punya.” Senada, bait kedua juga menyuarakan hal serupa untuk “tebu-tebu telah kembang” dan “roda lori pun berputar-putar siang malam,” tetap dengan penutup yang sama, “bukan kami punya.”
Baca juga: https://naramakna.id/istilah-tersesat-dalam-jargon-dan-kosong-makna/
Kesedihan semakin terasa pada bait ketiga, saat anak-anak digambarkan sudah pandai menyanyikan gema merdeka: “Anak-anak kini telah pandai/ Menyanyikan gema merdeka/ Nyanyi – nyanyi bersama-sama/ Di tanah-tanah gunung/ Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka/ Nyanyi – nyanyi bersama-sama/ Tapi bukan kami punya.” Lirik ini menyoroti kontradiksi antara idealisme kemerdekaan dengan realitas di mana rakyat desa tidak merasakan manfaat ekonomi dari tanah mereka sendiri.
Meski berani menyoroti ketidakadilan, Leo Kristi tidak pernah meninggalkan rasa pujanya pada tanah air. Ia menutup “Salam Dari Desa” dengan lirik penuh cinta: “Tanah pusaka tanah yang kaya/ Tumpah darahku/ Di sana kuberdiri/ Di sana kumengabdi dan mati/ Dalam cinta yang suci.” Ini menunjukkan bahwa nasionalisme baginya adalah penerimaan utuh terhadap segala aspek Indonesia, baik yang membanggakan maupun yang memilukan.
Kecintaan pada Indonesia memang banyak mewarnai lagu-lagu Leo Kristi lainnya. Dalam “Nyanyian Tanah Merdeka,” ia mengungkapkan: “Merah putih mawar melati/ Merah putih bara hati/ Merah putih mawar hati/ Merah putih setiap hati.” Ini menegaskan bahwa Indonesia adalah milik bersama, apapun yang terjadi di dalamnya. Tak heran jika dalam lagu “Minna Minkum Nusantara,” Leo Kristi menulis: “Minna-minkum Nusantara senyum tangis di hatiku/ Minna-minkum Nusantara berpisah langkah, hati selalu satu di sini.” Lirik ini menekankan ikatan emosional dan persatuan yang kuat di tengah perbedaan.
Ketika Indonesia menyambut 80 Tahun Kemerdekaan, lagu “Nafas Anak Merdeka” dari Leo Kristi patut kita renungkan: “Pahit manis asin segarlah ragamu/ pahit manis asin segarlah jiwamu/ Pahit manis asin segarlah merdeka/ Pahit manis asin segarlah merdeka Bung.” Lirik ini mengajak kita untuk menerima dan merayakan kemerdekaan dengan segala suka dan duka, menyadari bahwa perjuangan dan pengabdian terhadap tanah air adalah bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.