Jejak kuliner Belanda masih hidup di berbagai hidangan Indonesia, mulai dari meja kolonial hingga dapur rakyat. Namun, banyak orang kini tidak lagi menyadari asal-usulnya.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan bahwa lebih dari 70% makanan peninggalan kolonial telah mengalami naturalisasi atau pelokalan, baik dari segi nama, bahan, maupun teknik memasak. Angka ini menunjukkan betapa kuatnya proses asimilasi budaya melalui makanan.
Proses ini membuat hidangan asing dapat berubah identitas dan masyarakat Indonesia menerimanya sebagai makanan mereka sendiri.
Naturalisasi makanan adalah proses adaptasi kuliner asing yang masyarakat sesuaikan dengan budaya lokal. Dalam konteks Indonesia, masyarakat mengadaptasi warisan kolonial Belanda menjadi salah satu jejak paling signifikan.
Dari riset terhadap 125 jenis makanan kolonial, BRIN menemukan bahwa masyarakat telah memodifikasi lebih dari 90 jenis makanan secara aktif selama beberapa generasi.
Adaptasi dan Naturalisasi Makanan Kolonial
Sebagai contoh, kata semur berasal dari bahasa Belanda smoor (daging rebus dengan bumbu ringan). Di Indonesia, masyarakat memperkaya hidangan ini dengan kecap manis, pala, dan cengkeh.
Transformasi tidak berhenti pada makanan berat dalam kategori kue dan camilan, seperti kaasstengels (kue keju), ontbijtkoek, dan poffertjes (kue cubit) terjadi pula modifikasi. Ontbijtkoek, misalnya, yang berarti kue sarapan dalam bahasa Belanda, kini dikenal luas di Indonesia sebagai kue lapis legit.
Hal tersebut menjadikannya sajian khas dalam perayaan Lebaran proses ini tidak hanya mengubah rasa, tetapi juga makna sosialnya, dari menu bangsawan kolonial menjadi makanan nostalgia keluarga.
Adaptasi juga terjadi pada makanan penutup seperti klapertart. Resep aslinya berasal dari tart kelapa Belanda (klapper = kelapa, taart = kue). Masyarakat Indonesia memodifikasinya dengan menggunakan santan, kayu manis, dan kenari (bahan tropis yang membuatnya lebih relevan dengan cita rasa lokal). Kini, kue ini menjadi bagian dari identitas kuliner Sulawesi Utara dan populer di berbagai daerah di luar komunitas asalnya.
Baca Juga: https://naramakna.id/bubur-akulturasi-warisan-asia-tenggara/
Menelusuri Jejak Kuliner
Penelitian Journal of Culinary Heritage menyebutkan bahwa lebih dari 60% generasi muda di Indonesia tidak mengetahui bahwa makanan seperti macaroni schotel, poffertjes, dan lapis legit berasal dari pengaruh Belanda. Survei kecil Tempo.co pada tahun 2020 memperkuat hal itu; hanya 27% responden berusia 18–30 tahun di Jabodetabek yang menyadari akar kolonial semur dan makaroni panggang.
Angka tersebut mencerminkan bahwa mayoritas generasi muda Indonesia tidak lagi mengenali asal-usul kolonial dari makanan sehari-hari. Ini menandakan bahwa pelokalan kuliner telah berhasil menyamarkan jejak sejarahnya.
Naturalisasi makanan bukan sekadar perubahan resep proses ini mencerminkan dinamika budaya, dimana masyarakat Indonesia mampu mengolah, menerima, bahkan menjadikan warisan asing sebagai bagian dari narasi lokal yang utuh dan membumi.