Diabetes kini tidak hanya mengintai orang dewasa anak-anak pun masuk dalam daftar kelompok rentan. Di balik rasa manis makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari, tersembunyi ancaman metabolik serius, yaitu diabetes tipe 2.
Profil Kesehatan Indonesia mencatat peningkatan signifikan gangguan metabolik pada anak usia 10–14 tahun, termasuk indikasi awal diabetes.
Meskipun belum tersedia angka nasional yang merinci jumlah pasti penderita diabetes anak, para pakar kesehatan menyebut lonjakan ini sebagai alarm senyap akibat konsumsi gula berlebih sejak usia dini.
Konsumsi Gula Berlebih dan Risiko Diabetes Tipe 2
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas konsumsi gula tambahan sebesar 50 gram per hari. Namun, Riskesdas 2018 mencatat bahwa lebih dari sepertiga anak Indonesia melampaui ambang tersebut.
Sebagian besar gula berasal dari minuman berpemanis dalam kemasan dan jajanan ringan yang anak-anak konsumsi tanpa pengawasan.
Sebuah studi dari Harvard T.H. Chan School of Public Health (2022) menyatakan bahwa anak-anak yang rutin mengkonsumsi gula tambahan berisiko 26% lebih tinggi mengalami diabetes tipe 2.
Artinya, konsumsi gula dalam jumlah tinggi memicu resistensi insulin, yang dalam jangka panjang mengarah pada penyakit kronis.
Kasus obesitas anak di Indonesia terus meningkat. Laporan Global Nutrition Report 2021 menyebut, Indonesia menjadi salah satu negara dengan laju tercepat kenaikan obesitas anak di Asia Tenggara.
Para ahli menilai, kondisi ini menjadi alarm bahaya karena obesitas terbukti berkaitan langsung dengan risiko diabetes tipe 2 pada anak.

Baca Juga: https://naramakna.id/kesehatan-mental-anak-dimulai-dari-rumah/
Urgensi Regulasi dan Literasi Gizi untuk Anak
Namun, sejauh ini pemerintah belum memperlihatkan langkah preventif yang menyentuh akar persoalan. Iklan minuman berpemanis dan cemilan manis masih leluasa menyasarkan anak-anak melalui media digital, bahkan di jam tayang utama.
Singapura bisa menjadi contoh. Negara itu tidak hanya menetapkan kebijakan pelabelan gizi ketat seperti Nutri-Grade, tetapi juga membatasi iklan minuman bergula tinggi yang menyesatkan anak.
Konsumsi gula per kapita di Singapura pada 2023 tercatat hanya 10 kg per tahun, jauh lebih rendah dibanding Indonesia yang mencapai 15,7 kg menurut BPS 2023.
Ironisnya, Indonesia adalah produsen gula yang cukup besar. Produksi pada 2024 tercatat meningkat menjadi sekitar 2,38 juta ton, didorong oleh perluasan lahan dan peningkatan produktivitas petani tebu. Namun, kenaikan ini belum mampu menutup kebutuhan nasional.
Angka-angka ini menegaskan satu hal kita tidak kekurangan gula, tapi kekurangan kendali. Tanpa regulasi tegas, tanpa literasi gizi, dan tanpa keberanian politik untuk mengatur industri makanan anak, rasa manis yang kita suguhkan hari ini berpotensi menjadi penderitaan kronis di masa depan.