Example 468x60
Pendidikan

Pendidikan Era Disrupsi: Adaptasi dan Inovasi

×

Pendidikan Era Disrupsi: Adaptasi dan Inovasi

Sebarkan artikel ini
Dosen
Sumber: Paxels
banner 468x80

Disruptive innovation didefinisikan sebagai proses di mana suatu sektor yang awalnya melayani segelintir orang dengan produk dan layanan yang rumit dan mahal, berubah menjadi sektor yang menawarkan produk dan layanan sederhana, terjangkau, dan dapat diakses oleh banyak orang. Dalam konteks perguruan tinggi, ini berarti pergeseran dari model pendidikan yang kaku dan elit menjadi model yang lebih fleksibel, inklusif, dan relevan dengan kebutuhan pasar.

Contoh nyata dari disrupsi ini adalah munculnya perusahaan seperti Google dan Ernst & Young yang mulai merekrut karyawan tanpa memandang gelar universitas. Ini menunjukkan bahwa nilai ijazah formal tidak lagi menjadi satu-satunya tolok ukur kompetensi. “University of Everywhere” yang diusung Kevin Carey, serta pandangan Michael Barber tentang “avalanche” yang mengancam perguruan tinggi, memperkuat gagasan bahwa fondasi klasik pendidikan tinggi sedang diguncang oleh kekuatan teknologi dan globalisasi.

Adaptasi Pendidik dan Institusi

Rhenald Kasali bahkan memprediksi bahwa pendidikan akan mengalami tekanan besar dari segi cara pengajaran, teknologi, dan standar kualitas. Algoritma dan kecerdasan artifisial akan memiliki pengaruh signifikan terhadap proses pembelajaran. Ini menuntut para pendidik untuk terus mengembangkan diri, memperluas wawasan teknologi, dan mengadopsi cara-cara baru dalam mengajar. Di era ini, kecerdasan seorang pelajar bahkan bisa mengalahkan seorang profesor, dan sumber belajar melimpah di internet, membuat kelas konvensional beralih ke kelas daring.

Baca juga: https://naramakna.id/relevansi-pemikiran-toffler-dalam-pendidikan-abad-ke-21/

Bagi lembaga pendidikan, inovasi adalah kunci untuk bertahan. Jika sebuah institusi tidak berinovasi, ia berisiko ditinggalkan oleh “konsumen”nya. Inovasi harus mencakup segala aspek, mulai dari layanan, administrasi, akademik, kurikulum, hingga pengembangan minat dan bakat peserta didik, dengan memanfaatkan teknologi secara maksimal.

Tiga Skenario Perguruan Tinggi Menghadapi Disrupsi

Apabila perguruan tinggi diibaratkan sebagai incumbent (pemain lama) dan teknologi canggih sebagai attacker (pendatang baru), ada tiga kemungkinan skenario:

  1. Incumbent dikalahkan oleh entrants: Perguruan tinggi lama tidak mampu beradaptasi dan kalah bersaing.
  2. Incumbent mengalami slow death: Merasa nyaman dengan kemapanan, perguruan tinggi tidak menyadari ancaman hingga akhirnya perlahan-lahan runtuh.
  3. Incumbent mendisrupsi diri: Perguruan tinggi proaktif melakukan inovasi, beradaptasi, dan memetakan mana yang perlu dipertahankan serta mana yang perlu diinovasi agar tetap sustainable.

Peran Motivasi dalam Pembelajaran

Menurut Christensen et al., motivasi adalah katalisator utama untuk setiap inovasi yang berhasil, termasuk dalam pembelajaran. Motivasi bisa bersifat ekstrinsik (dari luar) atau intrinsik (dari dalam). Ketika motivasi ekstrinsik tinggi, belajar menjadi lebih mudah. Namun, saat motivasi ekstrinsik berkurang, lembaga pendidikan perlu menciptakan metode pembelajaran yang menarik secara intrinsik.

Contoh kasus di Jepang menunjukkan bahwa ketika kemakmuran meningkat, motivasi ekstrinsik siswa untuk mempelajari sains dan teknik menurun. Hal serupa terjadi di Singapura, Korea, bahkan Silicon Valley. Ini menyoroti bahwa di balik kemakmuran, motivasi internal menjadi sangat krusial.

Pendidikan tinggi harus terus berjuang dan berinovasi di tengah serangan disrupsi. Memaksimalkan potensi manusia, memfasilitasi demokrasi partisipatif, mengasah keterampilan yang relevan dengan ekonomi, dan memelihara rasa hormat terhadap perbedaan adalah aspirasi yang harus terus dikejar. Disrupsi bukan hanya tantangan, melainkan juga kesempatan untuk merevolusi pendidikan menjadi lebih adaptif, inklusif, dan relevan dengan masa depan.

Example floating